Jumat, 01 Agustus 2008

Seperti Kita Ini Bukan Indonesia...

SOSOK DAN PEMIKIRAN
Oleh Imam Prihadiyoko
Dikutip dari Harian KOMPAS, Sabtu, 26 April 2008.


Mei ini, Indonesia memperingati seabad kebangkitannya. Sebuah pelajaran sejarah yang mengingatkan kepada anak bangsa agar saling peduli dengan sesama anak bangsa. Apalagi, problem kebangsaan, kesejahteraan yang dihadapi masyarakat saat ini, memang menakutkan.
Ada rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena kelaparan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat pascakeruntuhan rezim Orde Baru. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.
Cerita lama rakyat antre minyak semasa era Orde Lama sekarang terjadi lagi. Bahkan, saat sebagian rakyat kesulitan menghadapi harga beras yang naik, dan bangsa ini mulai surplus beras, malah ada ide untuk mengekspornya.
”Sepertinya, keindonesiaan kita ini bukan Indonesia,” ujar guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bambang Shergi Laksmono di Kampus UI Depok, Senin (21/4).
Bambang, sosiolog yang masa kecilnya di berbagai negara, menuturkan, menyejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud. Tak heran kalau di antara rakyat mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa bernegara jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara.
Apa mungkin karena banyak orang Indonesia yang tidak mengenal lagi keindonesiaan sehingga tidak muncul kepedulian sosial terhadap sesama warga bangsa? Berikut perbincangan itu:

Apa ingatan masa kecil Anda tentang kebangsaan Indonesia?
Sewaktu kecil, rasanya saya bangga sekali dengan Indonesia. Saya tidak pernah merasa minder mengaku berasal dari Indonesia. Tak heran kalau saya merasa sama dan sejajar dengan bangsa lain. Sewaktu kecil, saya tinggal di beberapa negara karena mengikuti tugas orangtua.
Saya juga sedih, kok kita dengan Malaysia saja rasanya sudah tidak dihargai lagi. Padahal, dulu orang Malaysia sangat menghormati orang Indonesia. Bahkan, banyak guru dari Indonesia yang ikut mendidik warga Malaysia. Sekarang tampaknya kita yang harus belajar dari berbagai kemajuan yang diraih Malaysia.
Bambang adalah sosok yang tak banyak berbicara. Kalau berbicara, gayanya tenang, hampir tak ada ledakan emosi yang terlontar. Sempat gundah dengan kondisi rakyat Indonesia yang saat ini seperti tak punya pegangan, ia juga sedih melihat di negara tetangga pun tidak sedikit warga negara Indonesia yang dihina dan dikejar-kejar, seperti penjahat.
Bambang juga gundah dengan lulusan perguruan tinggi yang menurut dia juga lemah tentang pengetahuan kewilayahan Indonesia.
Lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak mengenal lagi wilayah Indonesia, apalagi tentang keindonesiaan. Bisa dibayangkan bagaimana menyedihkannya masyarakat kita kalau kaum cendekiawannya saja tak mengenal wilayah Indonesia. Bagaimana mungkin mereka bangga dengan Indonesia? Mungkin karena mahasiswa hanya dibekali pemahaman konseptual yang sering kali tidak menjejakkan kakinya di bumi. Mereka lebih ngawang-awang dan sering kali tidak melihat kenyataan. Ini mungkin disebabkan perspektif ilmu yang dikembangkan kita selama ini tidak cukup menuntun mahasiswa kita untuk mengenal kondisi Indonesia yang sangat luas.
Komposisi mahasiswa dan sarjana juga tak mencerminkan perwakilan daerah dan budaya yang memungkinkan saling mengenal daerah di negeri ini. Kita tidak seperti orang Singapura yang konsisten mengembangkan pengetahuan regional ASEAN- Asia dan lintas lingkaran yang menjangkau kawasan dunia, di mana negaranya menjadi sentral kekuatan keuangan dunia. Saya kira mestinya, dimensi kewilayahan, khususnya yang strategik, harus masuk dalam perhatian seluruh anak bangsa.
Daerah perbatasan, daerah pertambangan utama, daerah isolasi, dan daerah pusat pertumbuhan harusnya lebih sering dibicarakan secara holistik dan menjadi salah satu kompetensi lulusan pendidikan di Indonesia, apalagi jika dari FISIP. Syukur wawasan kewilayahan ini minimal bisa mencakup wawasan geopolitik Indonesia, Malaysia, Singapura, ASEAN, dan seterusnya Asia-Australia.
Pada tahun 1992, Bambang sudah menjadi Ketua Jurusan (sekarang disebut Departemen) Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ia juga merintis pengembangan jurusan kesejahteraan dengan mendirikan program Pascasarjana Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial yang pertama di Indonesia.

Terkait dengan kondisi bangsa, apa yang diharapkan rakyat?
Rakyat saat ini sebenarnya berharap proses demokratisasi berjalan dengan cepat. Bukan demokrasinya yang dinantikan, tetapi hasil dari pelaksanaan demokrasi itu, yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat. Sayangnya, proses demokrasi yang melewati masa pemilihan presiden langsung pun tidak menawarkan solusi yang diharapkan. Rakyat yang sudah disodori pilkada pun belum merasakan keuntungan dari proses demokrasi itu. Proses demokrasi baru dinikmati elite. Tidak heran kalau rakyat saat ini banyak yang menanti dengan tidak sabar atas hasil demokrasi yang dilaksanakan sekarang.
Rakyat saat ini cenderung tak peduli dengan proses demokrasi yang ada. Ini secara langsung bisa dilihat dari jumlah rakyat yang apatis pada pilkada terus bertambah. Ini semua karena rakyat tidak merasakan buah demokrasi, yaitu kesejahteraan. Banyak rakyat yang merasakan hidupnya seperti tikus yang mati di lumbung padi.

Mengapa demokrasi kita belum menyejahterakan rakyat?
Dalam sistem demokrasi yang dibangun dengan dasar kepartaian saat ini, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, partai harus bisa menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai agenda berbangsa dan bernegara. Jika partai tidak peduli, bukan saja kehidupan rakyat kian terpuruk, tetapi kelangsungan kehidupan bangsa ini juga akan terancam.
Secara ideal, konsolidasi demokrasi harus berjalan seiring dengan konsolidasi ekonomi sehingga kesejahteraan terwujud.

Imam Prihadiyoko

Kembali

Tidak ada komentar: