Kamis, 31 Juli 2008

Transformasi Indonesia Dinilai Mengagumkan

KEPRESIDENAN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy Kishore Mahbubani memuji kesuksesan transformasi Indonesia sebagai bagian dari transformasi Asia. Mahbubani optimistis akan kelanjutan peran Indonesia dalam kontribusinya bagi kesuksesan Asia pada abad ke-21 yang akan menjadi abad Asia.
”Indonesia telah memainkan peran yang heroik dalam transformasi Asia. Indonesia terbukti sukses melewati transisi yang paling sulit menuju demokrasi yang utuh. Ini adalah kisah yang membanggakan yang tidak sepenuhnya dipahami dunia,” ujar Mahbubani saat memberi kuliah kepresidenan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/7).
Mahbubani mengemukakan, Indonesia maju saat suara kebebasan dan demokrasi Amerika Serikat meredup dan mulai mundur. Hal itu terlihat dari upaya penanganan terorisme dan tahanan di Guantanamo. Kontras, ini menjadi tragedi karena kisah membanggakan transformasi Indonesia menuju demokrasi tidak tersiar ke seluruh dunia lantaran media internasional didominasi media Barat. ”Mereka tak bisa membayangkan Asia dapat melakukan banyak hal yang lebih baik daripada dunia Barat yang melakukannya,” ujarnya.
Atas penilaian Mahbubani, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku senang karena upaya jatuh bangun Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi mendapat pengakuan dan dinilai sudah berada di jalur yang tepat. ”Namun, ini bukan masalah senang atau tidak senang. Penilaian itu bagi kita jadi cermin. Kita belum puas karena transformasi kita menuju demokrasi belum cepat meski sudah di jalur yang tepat,” ujarnya.
Presiden melihat uraian kuliah kepresidenan Mahbubani ”Indonesia di antara Kebangkitan Kembali Asia dan Krisis Global” sebagai hal yang menantang dan provokatif. (INU)

Kembali

Visi Kebangsaan Perlu Diperkuat

Islam sebagai rujukan nilai seharusnya jadi bentuk strategi besar, penjaga moral dan kekuatan bagi bangsa.
Oleh Much Fatchurochman
Dikutip dari Rubrik Sosial Budaya di Harian Jurnal Nasional, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 05.
SELURUH elemen bangsa perlu memperkuat visi kebangsaan yang dinilai semakin surut, akibat banyak pihak terjebak pada kepentingan masing-masing. Karena itu, sudah saatnya semua elemen bangsa menyadari kebutuhan agenda besar yaitu melanjutkan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan dewasa ini.
"Saya khawatir, vision nation melemah. Sekarang merangkak lagi, politik masih mencari kondisi ideal dengan banyaknya partai, ekonomi terpuruk butuh pemulihan. Orang butuh ruang berlindung yang aman dalam negara, bukan lagi mempertajam konflik kepentingan," kata Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Komaruddin Hidayat dalam orasi budaya bertema "Islam Kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia" di Kompleks Penerbit Kanisius yang digagas oleh Forum Diskusi Impulse Yogyakarta, Selasa (29/7) malam.
Selain itu, Komaruddin juga berpendapat bahwa masih banyak konflik berlatar belakang agama, berbagai persoalan sosial dan masalah-masalah di wilayah politik yang cenderung tidak sehat sehingga menyedot konsentrasi energi partai politik juga energi ekonomi nasional.
Sebaliknya, dalam dunia sosial politik dengan berbagai latar budaya yang ada justru membutuhkan kondisi riil partai politik yang sehat dan kuat. Di berbagai negara Asia, seperti Singapura, Malaysia, Thailand juga India mengalami perkembangan pesat dalam kehidupan sosial budaya dan politik, sedangkan Indonesia masih dalam tahapan merangkak.
"Beberapa negara Asia justru sudah lebih stabil politiknya sehingga mampu fokus pada program pendidikan yang lebih bermanfaat bagi kehidupan. Indonesia hingga kini masih harus melakukan konsolidasi politik," katanya.
Menurut Komaruddin, almarhum cendekiawan muslim terkemuka, Prof Dr Nurcholis Madjid, sesungguhnya sudah memberikan jalan pengetahuan epistemologis bagi relasi agama seperti Islam vis a vis negara dalam soal pilihan tak terjebak pada politik kekuasaan yang merusak sendi-sendi berdemokrasi dalam negara. Salah satu peluang tersebut, kata Komaruddin, ada pada kemampuan organisasi keagamaan yang besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam artikulasi peran politik, menyumbangkan kader terbaiknya untuk kejayaan bangsa. "Islam sebagai rujukan nilai seharusnya jadi bentuk strategi besar, penjaga moral dan kekuatan bagi bangsa. Sekarang memang masih menuju proses, belum sepenuhnya jadi rujukan nilai," ujarnya.
Memberikan pandangan atas gagasan dari Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto yang melansir pemikiran politik dalam bentuk buku yaitu "Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik, Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur", Komaruddin menyebutkan bahwa Islam sebagai sumber nilai memang memberi inspirasi bagi praktik pemerintahan. "Buku ini membawa optimisme. Gagasan multikultural yang dibangun membawa warga dapat hidup berdampingan," kata cendekiawan muslim itu.
Sementara itu, Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta menjelaskan, buku yang terbit bekerja sama dengan Impulse dan PT Kanisius Yogyakarta berisikan refleksi pemikiran selama memimpin kota Yogyakarta yang multikultural sangat lekat dengan citra Indonesia mini.
Bukunya memuat gagasan reflektif soal dialog, perdebatan, kepemimpinan, dan pilihan demokrasi langsung yang perlu diwarnai nilai-nilai lokal termasuk budaya Islam yang menganjurkan sikap toleran. "Buku ini merekam pelangi di Yogyakarta dengan kemajemukan masyarakatnya. Kota Yogyakarta merupakan masyarakat multikultur dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, agama,ketaatan hukum, aspek sosial banyak memberi pelajaran berharga dalam mewarnai kepemimpinan saya," katanya.
Herry menawarkan gagasan partai politik yang perlu dalam mengusung kader terbaiknya untuk duduk di jajaran eksekutif atau legislatif, bukanlah mengejar kekuasaan sebagai previlage (keistimewaan), tetapi justru perlu mewakafkan kader terbaik untuk dimiliki semua.
"Perlu ada sikap ikhlas dan rendah hati menyerahkan kader terbaiknya menuju puncak kekuasaan. Kepemimpinan harus mengabdikan diri bagi bangsa, bukan dikerdilkan hanya untuk kepentingan partai," katanya.

Selasa, 29 Juli 2008

Tanah Punya Mau

ANALISIS POLITIK
Oleh SUKARDI RINAKIT
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008.

Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memang diam. Tetapi, karya lukisnya, Exodus, berbicara banyak tentang karakter kepemimpinan. Ia seperti ingin berteriak kepada para elite negeri ini bahwa seorang pemimpin yang baik, seperti Nabi Musa, hanya mengantar rakyatnya ke tanah yang dijanjikan. Ia sendiri tidak perlu menjadi ”penguasa” di tanah itu.
Kerisauan seperti yang dirasakan Daoed Joesoef itu adalah kerisauan kita semua. Saat ini kita kering dengan keteladanan seorang pemimpin. Tidak ada tempat bersandar ketika tekanan hidup akibat kemiskinan begitu berat. Banyak elite justru berebut pengaruh membangun citra diri. Sulit mencari figur yang menyadari bahwa kekuasaan adalah pengabdian kepada rakyat.

Tidak murah
Sejauh ini saya masih ragu jika ditanya soal banyaknya jumlah partai politik peserta pemilu. Keraguan juga menyeruak apabila berkaitan dengan banyaknya figur yang mencalonkan diri menjadi presiden. Apakah fenomena itu sebagai wujud kesadaran elite untuk berjuang demi kesejahteraan rakyat atau hanya sekadar mengejar kekuasaan pribadi?
Melandaskan diri pada pusaran arus optimisme, berapa pun jumlah partai yang ikut pemilu, sejatinya tidak masalah. Ini merepresentasi kehendak bersama untuk berjuang demi rakyat. Secara alamiah jumlah itu akan terus mengecil seiring dengan tingkat kesadaran politik masyarakat. Partai yang tidak mendapatkan dukungan publik akan mati dengan sendirinya.
Tetapi, sikap optimisme tersebut juga digelayuti kenyataan bahwa tiap partai membutuhkan banyak tokoh untuk dijagokan menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Partai besar, seperti PDI-P dan Partai Golkar, bisa membutuhkan 10.000- 15.000 calon. Partai menengah dan kecil paling tidak mematok di kisaran 500 nama.
Jika diambil rata-rata tiap partai mempunyai 500 caleg, misalnya, jumlah tokoh yang diperlukan adalah 17.000 orang. Jika tiap calon mengeluarkan dana rata-rata Rp 200 juta, dana yang berputar mencapai Rp 3,4 triliun. Padahal, ini hitungan pesimistis karena ada partai yang mematok angka sekitar Rp 2 miliar bagi kadernya agar lolos menjadi calon.
Pemilu pada akhirnya memang tidak murah. Ini belum kalau pemilu presiden ikut diperhitungkan. Tetapi, karena posisi politik menjanjikan kehormatan (martabat), ia pun dikejar oleh para petualang politik.
Kenyataan politik itu secara otomatis akan menghambat regenerasi kepemimpinan. Figur muda yang berkualitas tapi tidak mempunyai modal akan ragu menjadi batu penyangga pilar partai politik.
Selain itu, biaya politik yang tinggi juga akan menghambat upaya pemberantasan korupsi. Pendeknya, silakan penjaga moral berkhotbah, tetapi korupsi akan jalan terus pada masa depan.
Jika posisi anggota legislatif saja dikejar demi martabat dan citra diri, apalagi posisi eksekutif yang menjanjikan lebih banyak hak-hak istimewa. Tidak mengherankan jika banyak wajah yang tiba-tiba ramah dan menyapa publik. Sang tokoh bergerak-gerak di layar kaca atau terpampang di baliho, sementara rakyat merintih di lorong-lorong kampung kumuh dan tanah becek pedesaan. Tidak tampak ada benang-benang halus yang menghubungkan kalbu mereka.
Namun, saya ingin bersikap optimistis. Munculnya banyak wajah yang siap menantang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu mendatang menandakan bahwa Indonesia terus bergerak. Kita tidak diam dan mati. Ada Fadjroel Rachman, Kivlan Zein, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Rizal Mallarangeng, Sultan Hamengku Buwono X, Sutiyoso, Soetrisno Bachir, Wiranto, Yuddy Chrisnandi, Yusril Ihza Mahendra, dan nama-nama lain.
Hanya ini catatan kritisnya. Jika ada tokoh yang percaya sepenuhnya pada kekuatan iklan, ia mengabaikan dua pilar utama sumber dukungan, yaitu alam bawah sadar pemilih dan jejaring sosial. Iklan politik tanpa kesiapan alam bawah sadar pemilih adalah ibarat menanam benih di bebatuan. Adapun iklan politik tanpa jejaring sosial, ia tak lebih dari omong kosong di warung kopi.
Penjelasan tersebut disambut Franky Sahilatua. Dia berkata, ”Bung, apa pun analisisnya, tapi tanah punya mau. Itu tidak bisa ditolak. Sedahsyat apa pun guyuran iklan dan uang, kalau tanah sudah punya mau, tokoh tersebut akan lolos dari jeratan dan bendungan lawan politik. Tanah punya mau itu adalah alam bawah sadar rakyat!”
Mendengar komentar tersebut, saya berguman dalam hati, ”Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur)”.

Trisula Kepemimpinan

Oleh Budiarto Shambazy
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008

Laporan utama Time pada 9 Juli ditulis Richard Stengel, penulis biografi Nelson Mandela, Long Road to Freedom. Ulasan Stengel dalam rangka ulang tahun Rolihlahla ke-90, 19 Juli 2008.
Seperti biasa, di sampul Time Mandela berpose dengan kemeja batik—ia promotor batik global tanpa honor. Untung dia bukan orang Malaysia. Pak Harto, atas nama RI, rutin membantu dana perjuangan Mandela dan partainya, ANC. Ini contoh praktik politik luar negeri jempolan!
Bulu kuduk bergidik membaca ulasan Stengel tentang Delapan Prinsip Kepemimpinan Mandela. Intinya, memimpin bukan berwacana karena ”talk is cheap”.
Rolihlahla (anak bandel) tak pandai berpidato, lebih suka memberi suri teladan, dan tak bangga dengan jam terbang dibui 27 tahun. Ia pengacara berbakat, gerilyawan pemberani, negarawan sejati, dan—di atas segala-galanya—politikus ulung.
Stengel menempatkan watak pemberani dan tak kenal ragu sebagai prinsip pertama. Pelajaran bagi kita, bangsa yang sedang serba susah ini tak boleh lagi dipimpin an indecisive coward mulai tahun 2009.
Prinsip kedua, memimpin dari depan tanpa meninggalkan pendukung. Stengel mengibaratkan Mandela bukan tipe ”pengunyah permen karet” yang dengan cepat melepeh sehabis menikmati rasa manis alias jangan habis manis sepah dibuang.
Prinsip ketiga, pemimpin menggembala dari belakang. Ya, mirip dengan lagu Norma Sanger, ”Si Penggembala Sapi”, yang dari pagi sampai petang kerja keras sampai menutup pintu kandang.
Kelas ”penggembala sapi” ada pada diri Bung Karno dan Pak Harto. Presiden-presiden setelah itu kewalahan menggembala sapi (eh maaf, maksudnya bangsa) karena mewabahnya sapi gila, flu burung, dan kaki gajah.
Sebuah fitur prinsip ketiga ini membujuk orang berbuat sampai yakin perbuatan itu gagasan dia. Jangan kayak kasus blue energy yang membuat si pencipta malah bolak-balik sakit.
Prinsip keempat, pelajarilah musuh Anda. Kalau pesawat maskapai-maskapai kita dilarang terbang ke Eropa, jangan ngambek enggak berkunjung ke sana.
Larangan itu diberlakukan karena maskapai-maskapai kita menyepelekan keselamatan. Pelajari cara mereka menerapkan keamanan penerbangan, baru setelah itu main gertak yang bukan lagi pakai sambal.
Prinsip kelima mirip yang keempat, yakni jangan usir musuh-musuh Anda. Jika perlu, undang mereka, puji perbuatan mereka, dan setelah tersanjung ambil keuntungan dari mereka.
Prinsip ini penting sehubungan dengan keluhan investor asing yang makin malas tanam modal di sini. Mana yang lebih baik: marah atau sebaliknya, berunding baik-baik?
Peranan MNC (multinational corporation) mustahil diabaikan. Ancaman nasionalisasi tak produktif dibandingkan ajakan berunding dalam posisi setara—seperti yang dilakukan Presiden Bolivia Evo Morales.
Prinsip keenam, pemimpin harus tampil menarik dan selalu ingat kapan harus tersenyum. Namun, hati-hati kalau senyum melulu bisa dianggap kurang waras.
Senyum, body language, serta ucapan mesti sewajar mungkin. Mata rakyat kecil amat nyambung dengan hati sehingga mereka bisa membedakan pemimpin munafik dengan yang apa adanya. Mandela tak mau memakai seragam gerilyawan seperti pada masa perjuangan atau jas lengkap beberapa tahun terakhir. Ia memilih tampil sebagai ”Bapak Bangsa” dengan kemeja batik.
Beda dengan pejabat di sini yang pakai batik karena terpaksa berhubung dikritik memboroskan listrik pada saat harga bahan bajar minyak naik melulu. Lihat saja, beberapa bulan lagi mereka ogah pakai batik lagi.
Prinsip ketujuh, dalam politik tak ada hitam atau putih karena semuanya abu-abu. Dalam konteks Indonesia tak ada warna politik lain kecuali merah dan putih—warna Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip kedelapan, mengundurkan diri juga bagian dari kepemimpinan. Kalau di sini mundur artinya pandir karena kehilangan peluang mejeng sekaligus korupsi kekuasaan.
Delapan Prinsip Kepemimpinan Mandela bukan ilmu gaib yang hanya dapat dipelajari dari dukun, pusaka, atau arwah. Ilmu ini sering diseminarkan, dibukukan, bahkan diterapkan di mana pun.
Tetapi, berhubung bersumber dari kepemimpinan seorang Mandela, ia jadi tidak biasa. Ia pemimpin yang larger than life.
Ia membangun karisma, partai, dan tujuan sejak muda. Secara perlahan-lahan ia terbentuk sebagai pemimpin yang memiliki kredibilitas karena berjuang penuh pengabdian, tanpa pamrih, dan rela berkorban. Berbeda, misalnya, dengan Presiden Amerika Serikat George W Bush yang sesumbar akan menyebarkan demokrasi di Timur Tengah. Wong dia sendiri di negerinya enggak demokratis kok.
Nah, ”riwayat Mandela” sebenarnya dilakoni pula oleh para pendiri republik ini. Mereka mungkin tidak sekelas Mandela, tetapi telah membuktikan pengabdian beyond the call of duty.
Sering muncul pertanyaan dari para pembaca, mengapa pemimpin masa kini tidak seandal pada masa perjuangan dulu? Simsalabim, saya punya teori Trisula Kepemimpinan.
Prinsip pertama, pemberani karena nekat. Contohnya, pemimpin muda yang minta yang tua menyingkir meski enggak berani mencalonkan diri jadi presiden.
Prinsip kedua, tak berkelas gembala karena lebih doyan digembalakan saja. Ada 34 partai peserta Pemilu 2009, tetapi yang berani mencalonkan presiden baru segelintir.
Prinsip ketiga, saling bermusuhan kayak anak kecil. Kalau enggak percaya, tanya Pak Jusuf Kalla.

Ekonomi Berkelanjutan dan Gradualisme

CHINA
Oleh Bob Widyahartono
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008, halaman 16

Memasuki abad ke-21, Jiang Zemin/Zhu Rongji pada Kongres Rakyat Nasional IX dalam bulan Maret 1998 menggariskan kebijakan sebagai ”Yige Quebao, Sange Daowei, Wuxiang Gaige” yang artinya ”Satu Garansi, Tiga Pencapaian Prestasi, Lima Pokok Reformasi” (Satu, Tiga, dan Lima).
Satu garansi itu terdiri atas tiga unsur kunci: memelihara tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi rendah, dan mata uang renminbi yang stabil.
”Tiga pencapaian prestasi” dicanangkan Kabinet Zhu. Sasaran ”tiga hasil prestasi” merupakan kerangka kerja yang cukup ambisius dan program reformasi yang harus dikerjakan dalam tiga tahun (1998-2001) melewati awal milenium.
Pencapaian pertama yang harus terjadi, antara lain, menarik BUMN skala menengah dan besar keluar dari ”angka merah” (menderita rugi terus-menerus). Tanpa ragu-ragu dinyatakan bahwa BUMN merupakan salah satu masalah utama karena tanpa restrukturisasi yang berani, BUMN itu tak akan mampu menjadi efisien dalam pasar yang makin bersaing dalam negeri maupun dalam operasi internasionalnya. Barat sering kali mempertanyakan program restrukturisasi BUMN.
Pencapaian kedua akan melibatkan restrukturisasi menyeluruh dari sistem perbankan dan finansial. Restrukturisasi dan redefinisi fungsi-fungsi diawali dengan peranan Bank Rakyat China sebagai bank sentral. Fungsi-fungsi nonbank sentral dialihkan kepada lembaga lain.
Pencapaian ketiga menetapkan kondisi perampingan birokrasi yang terlalu menggelembung. Logika Zhu jelas. Terlalu banyak pegawai negeri yang menerima gaji rendah membuka peluang korupsi dan inefisiensi. Zhu mulai dengan merampingkan jumlah kementerian menjadi separo dengan jumlah karyawan yang dirampingkan (streamlined).
Lima pokok reformasi yang dimaksud mencakup: 1. distribusi gandum (grain); 2. peningkatan modal; 3. perumahan; 4. pemeliharaan kesehatan; dan 5. restrukturisasi (overhaul) dari sistem keuangan dan perpajakan.
Reformasi ini pada dasarnya meliputi ketersediaan perumahan, suplai gandum, perputaran modal, kebijakan fiskal dan perpajakan, pemeliharaan kesehatan, dan peraturan pensiun.
Dalam penyelenggaraan reformasi ini keterlibatan masyarakat banyak digerakkan. Dan dalam mewujudkan ”tiga pencapaian prestasi”, kelima butir reformasi harus secara simultan dikerjakan, agar hambatan-hambatan masa lalu yang bisa muncul dalam reformasi ekonomi China dapat diminimalkan.
Reformasi juga menggerakkan masyarakat untuk mengambil asuransi kesehatan untuk menutup biaya kesehatan, menciptakan dana pensiun untuk masa pensiun, dan memperoleh pinjaman dari bank (mortgage loan) untuk membeli rumah. Suatu tekad yang berani untuk mendayung maju demi rasa aman dan sejahtera rakyat China di masa depan.
Dalam setiap regenerasi kepemimpinan pasti timbul pertanyaan mendasar, apakah kebijakan yang telah digariskan berkelanjutan atau ada nuansa baru yang dimasukkan untuk memberi wajah keterlibatan pimpinan baru dalam kebijakan yang dialihgenerasikan?
Dalam hal regenerasi kepemimpinan China, satu hal yang harus dipuji dari Kongres PKC XVI (2003) adalah untuk pertama kalinya alih pimpinan berhasil tanpa perebutan kekuasaan secara kasar. Tampak generasi Jiang/Zhu/Li Peng mewariskan tekad bahwa ”China bertambah matang/dewasa” sekalipun ke depan terbentang berbagai masalah yang masih tetap perlu dipecahkan.
Sekalipun dalam kongres tersebut tidak dibahas kebijakan ekonomi apakah perlu penyempurnaan dan penghalusan, yang tetap menjadi wacana adalah bahwa titik pertumbuhan paling cepat mulai abad ini adalah memberi bobot pada jiwa kewirausahaan rakyat untuk berkreativitas dan berinovasi dalam wadah perusahaan skala kecil dan menengah milik swasta (rakyat) secara mandiri.
Interaksi dan interkoneksitas antara usaha dan perbankan tidak mungkin lagi menggunakan bekal ”kekuasaan pejabat”, tetapi secara profesional dan dijiwai kewirausahaan melakukan hubungan jaringan (guanxi) atas dasar kepercayaan (shin yung) dengan tetap memegang teguh aturan sistem modern.
Keberhasilan pembangunan tidak melulu di kawasan pantai, tetapi pembangunan kawasan barat justru makin memperoleh porsi pembangunan yang lebih intens. Salah satunya, inisiatif pemerintah untuk membangun jaringan jalanan dan kereta api baru dari pesisir ke pedalaman, dengan melibatkan partisipasi modal swasta.
Pembangunan jaringan infrastruktur fisik, termasuk listrik dan telekomunikasi, menurut para ekonom China sendiri, akan mengurangi arus urbanisasi ke daerah pantai yang di dekade 1980-an dan 1990-an dianggap menjanjikan kesempatan untuk menjadi sejahtera secara finansial (jadi kaya).
Tugas dan tanggung jawab kepemimpinan Hu yang pasti penuh tantangan dan peluang untuk menorehkan tinta emas dalam kebijakan ekonomi yang prorakyat, prokeadilan, dan prokemakmuran, dasar-dasarnya sudah diletakkan Jiang/Zhu dan kawan-kawan dalam bidang ekonomi.
Ke depan, Hu Jintao/Wen Jiabao dengan timnya yang terdiri atas generasi baru, atau yang bisa disebut generasi keempat pimpinan China, tetap harus bekerja keras untuk mewujudkan pokok-pokok keputusan dalam ”Pembangunan Lima Tahun Kesepuluh”: pertumbuhan GDP tahunan sebesar 8-9 persen; peningkatan efisiensi perusahaan BUMN dan swasta; perintisan baru dalam penelitian dan pengembangan teknologi; peningkatan standar hidup dari apa yang mereka sebut xiao kang (relative comfort = keugaharian) menuju ke gengjia fuyu (alluence = kemakmuran).
Kebijakan ekonomi ini pasti bukan tugas ringan, dan Hu serta generasi barunya mencapai keberhasilan dalam meletakkan dasar-dasarnya mulai dari kawasan pantai sampai ke kawasan barat, maka China dan dunia akan menyaksikan suatu awal transformasi standar hidup yang akan mencapai stable medium level stage of development (taraf pembangunan menengah yang stabil) dalam tahun 2010-2020-an.
Transformasi yang merupakan proses akan memberi dasar pada nilai-nilai sosial dalam masyarakat China yang tidak ”materialistis berlebihan”. Menjelang turun takhta, Jiang/Zhu berupaya meletakkan dasar proses transformasi dengan menyeimbangkan sivilisasi spiritual yang mencakup berbagai kepedulian pada nilai-nilai keluarga sampai ke perlindungan lingkungan dan apresiasi seni budaya, dengan ”sivilisasi material” yang cenderung memberi bobot berlebihan pada uang dan daya belinya.
China sudah sejak zaman Jiang/Zu memasukkan juga revolusi internet sebagai sarana keterbukaan dalam membangun ekonominya. Suatu ketajaman berpikir dalam memberi bobot pada upaya mencapai kemakmuran. Telekomunikasi yang mobile terus pula berkembang, tidak hanya di kawasan pantai, tetapi merambat ke pedalaman. Artinya, munculnya ”multimedia” tanpa mengebiri keberadaan sivilisasi spiritual dalam mencari sivilisasi material berlebihan.
Sikap hati-hati Bank Sentral China dalam mengelola mata uang renminbi (RMB) dengan mematok sejak 1996 hingga 22 Juli 2005 dengan kurs 1 dollar AS = RMB 8,28 menunjukkan ketegasan dalam berinteraksi dengan dunia luar. Ketika itu tanggal 22 Juli 2005 atas desakan dunia luar, terutama negara Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa), serta Jepang, dengan pertimbangan matang demi kemantapan perdagangan internasional dan investasi dari luar, Bank Sentral China dengan hati-hati merevaluasi RMB-nya, dari RMB 8,28 menjadi RMB 8,11 per dollar AS. Tercatat pada pertengahan Juli 2008, nilai RMB sebagai berikut: (Desember 2007) 1 dollar AS = RMB 7,35, (Mei 2008) 1 dollar AS = RMB 6,992, (18 Juni 2008) 1 dollar AS = RMB 6,8823.

Berkelanjutan
Ajaran dasar-dasarnya Deng Xiaoping, yang diimplementasi oleh Jiang/Zhu jelas dilanjutkan oleh Hu/Wen dan kabinetnya untuk diserap bangsa China secara keseluruhan. Penulis mengamati tidak adanya ”lompatan jauh” secara spektakuler, tetapi proses gradual tetap menjadi acuannya dengan menyadarkan bangsa sampai ke pedalaman.
Jelas, kebijakan gaige kaifang (opening up and reform) secara gradual dan chengbaozhi (self responsibility system) yang merupakan tahap awal menuju evolusi ke arah adanya perusahaan swasta (the first stage in the evolution toward private enterprise).
China harus terus bergerak maju dalam mencari kesejahteraan dengan memotivasi rakyatnya yang berjumlah 1,3 miliar jiwa. Membangun keseimbangan dengan kawasan pantai adalah rencana program berkelanjutan dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan mutu manusia kawasan barat/pusat.
Tegas-tegas Hu menyebut san ge tiejin (tiga kedekatan: dekat dengan realitas, dekat dengan rakyat, dan dekat dengan kehidupan).
China dengan kebijakan berkelanjutan memiliki tekad menjadi bangsa yang ikut aktif bukan hegemonis mengemudikan abad ke-21 sebagai abad Asia. Demikian secuil pengamatan perkembangan China dalam politik, ekonomi, dan budaya sebagai salah satu pemeran bersama Jepang, Korea, India, dan negara anggota ASEAN memberi substansi abad ke-21 yang dijuluki sebagai abadnya Asia.

Bob Widyahartono
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara

Senin, 28 Juli 2008

Kepemimpinan Bukan Persoalan Usia

KEBANGSAAN
Dikutip dari Rubrik Politik & Hukum, di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008, halaman 03

Jakarta, Kompas - Diskursus tentang kepemimpinan nasional sebaiknya tidak tereduksi pada perdebatan tua atau muda. Yang justru harus dikedepankan dalam dialog tersebut adalah integritas, kapabilitas, dan kompetensi seorang pemimpin nasional.
Hal itu dikemukakan secara terpisah oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Lukman Hakim Syaifuddin, dan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat dari unsur Partai PKPI, Benny K Harman, Sabtu (26/7) di Jakarta.
Menurut Lukman Hakim, mendialogkan kepemimpinan nasional, khususnya pada persoalan integritas, kapabilitas, dan kompetensi, akan lebih berdampak terhadap masyarakat.
Jika dialog terhenti pada soal usia, menurut Benny K Harman, dikhawatirkan ada proses pereduksian terhadap prestasi seseorang.
Padahal, menurut dia, menghadapi persoalan dasar yang ada di Indonesia, dibutuhkan pemimpin yang tak hanya berani mengambil risiko, tetapi juga pertimbangan yang matang dan bijak.
Baik Lukman Hakim maupun Benny Harman sepakat tidak ada langkah instan untuk melahirkan pemimpin. Namun, di sisi lain, mereka juga melihat lembaga-lembaga yang ada, seperti partai politik dan birokrasi, belum optimal melahirkan pemimpin baru.
Bahkan, Benny menilai partai politik yang ada justru terancam kerapuhan karena kooptasi modal. Di sisi lain, birokrasi masih terjebak pada sikap paternalistik. Akibatnya, kedua lembaga itu hingga kini belum dapat melahirkan pemimpin nasional yang berkualitas. (JOS)

Sabtu, 19 Juli 2008

Mandela Berjuang Hingga Usia 90 Tahun

Oleh DIAH MARSIDI
Dicuplik dari Rubrik SOSOK di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008 halaman 16

Sebagai presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela – yang memang hanya mencalonkan diri satu kali – membawa masuk sebuah masyarakat multirasial, demokratis, yang masih tetap damai dan kuat.

Namun, bukan hanya masanya memerintah itu yang membuat dia begitu dikagumi, begitu dicintai, begitu dihormati, dan egitu didengar sebagai pemimpin. Karyanya merentang sepanjang hidup dan itu bukan masa yang singkat. Hari Jumat (18/7) ini, dia berulang tahun ke-90.
”Saya merasa Madiba adalah salah satu hal terbaik yang bisa terjadi bagi negara”, kata Faith van de Heever, seorang perempuan kulit putih Afrika Selatan yang melatih olahraga rugby pada anak-anak muda kulit hitam negara itu.
Madiba adalah nama klan Mandela, yang menjadi panggilan kesayangn rakyat Afrika Selatan bagi Rolihlahla Dalibhunga yang mendapat nama Inggris, Nelson, dari guru sekolahnya itu. Pendapat pelatih rugby itu mewakili perasaan banyak anak bangsa yang disebut bangsa pelangi tersebut.

Ikon anti-apartheid itu sudah jarang muncul di muka umum. Mandela dengan bergurau mengatakan, dia telah ”pensiun dari masa pensiun”. Dia juga tidak banyak memberi komentar mengenai berbagai isu.

Pada ulang tahunnya yang ke-89, Mandela memang merayakannya dengan mengumumkan pembentukan sebuah ”dewan para tetua”. Itu adalah tempat para sesama pemenang Hadiah Nobel, politisi dan tokoh pembangunan mengumpulkan kebijaksanaan dan pengaruh mereka untuk menangani krisis global. Sejak itu, para tetua tersebut sudah mendatangi Darfur dan Timur Tengah, tetapi Mandela tidak ikut pergi.

Setelah mengubah negaranya dengan begitu mendalam selama pemerintahannya, Mandela meninggalkan panggung itu, memberi kesempatan bagi pemimpin-pemimpin yang lebih muda. Namun, Afrika Selatan dan dunia tampaknya enggan membiarkannya memudar dalam masa pensiun. Tiap kali krisis terjadi, rakyat Afrika Selatan ingin mendengar apa kata Mandela.
”Saya ingin pemimpin besar ini untuk kembali,” kata Stephen Miller, seorang komponis. ”Itu nostalgia yang luar biasa.”
Selama bertahun-tahun, Mandela tidak memberikan wawancara. Pendapat mengenai peristiwa dunia semakin dia serahkan kepada pejabat-pejabat yayasan yang dibentuknya saat pensiun. Bulan lalu, ketika dia berkomentar mengenai Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, dia melakukannya pada sebuah jamuan makan malam pribadi di London.
Komentarnya itu lalu disampaikan ke dunia luar oleh para pembantunya, dan tampak lunak.

Delapan pelajaran
Madiba yang dipenjara selama 27 tahun karena menentang rezim apartheid itu telah menetapkan tempatnya dalam sejarah sebagai seorang negarawan besar dunia. Karena itu, dunia seperti tidak mau membiarkannya menghilang dalam masa pensiun.
Dia muncul pada sebuah konser musik rock di London untuk menyambut ulang tahunnya, Juli ini. Tokoh berbadan tinggi yang tampil dengan penuh wibawa ketika keluar dari penjara 18 tahun lalu, kini tampil ringkih, berjalan perlahan digandeng istrinya.

Dunia diingatkan bahwa dia berusia 90 tahun. Masa pengabdian yang begitu lama dari pemimpin moral ini memberikan berbagai pelajaran bagi dunia. Bagi yang ingin belajar, Richard Stengel, editor pelaksana majalah Time, yang pada tahun 1990-an selama dua tahun bekerja dengan Mandela untuk mempersiapkan otobiografi Bapak Bangsa Afrika Selatan itu. Long Walk to Freedom, merangkum delapan pelajaran kepemimpinan dari Mandela. Beberapa dari pelajaran itu disebutkan di sini.

”Keberanian bukannya ketiadaan rasa takut – tetapi mengilhami orang-orang lain untuk bergerak melewati (rasa takut) itu”. Stengel menyebutkan, Mandela kerap takut semasa perjuangan bawah tanahnya, semasa pengadilan yang membuatnya dipenjara, dan selama ditahan di Pulau Robben.
”Tentu saja saya takut!” katanya kepada Stengel kemudian. Tetapi seorang pemimpin, menurut dia, tidak bisa memperlihatkan rasa takut itu. Dengan tampil tanpa takut, dia menginspirasi orang-orang lain.
”Pimpinlah dari depan – tetapi jangan tinggalkan basis Anda.” Menurut Cyril Ramaphosa yang pernah menjadi Sekjen African National Congress, partai Mandela, pemimpin itu membawa basis dukungannya bersama, dan begitu sampai di tempat tujuan membiarkan mereka untuk terus maju.

Mandela, katanya, bukanlah jenis pemimpin ”permen karet”, yang ”habis manis sepah dibuang”. Pelajaran ini mengingatkan kita pada pelajaran Ki Hajar Dewantara, ”Ing Ngarso sung Tulodo”. ”Pimpin dari belakang – dan biarkan orang-orang lain percaya mereka berada di depan”. Mandela, menurut Stengel, sering mengenang masa kanak-kanaknya ketika dia menggembala ternak. ”Anda tahu”, katanya, ”Anda hanya bisa memimpin mereka dari belakang”.

Menetapkan arah
Dalam sejarah Afrika, hanya sedikit pemimpin terpilih secara demokratis yang mau mundur dari jabatan. Mandela bertekad membuat contoh yang akan diikuti pemimpin selanjutnya. Dia adalah kebalikan dari Mugabe, dengan menjadi orang yang membawa kelahiran negaranya dan menolak untuk menyanderanya. Dia hanya mau memegang satu kali masa jabatan.
”Tugasnya adalah menetapkan arah”, kata Ramaphosa, ”bukan mengemudikan kapalnya”.

Konon, kunci untuk mengerti Mandela adalah 27 tahun masanya dipenjara. Ketika masuk ke Pulau Robben tahun 1962, dia adalah seorang pria emosional, keras kepala, dan mudah tersinggung. Ketika keluar dari penjara itu, dia muncul sebagai lelaki yang imbang dan berdisiplin.
Stengel kerap menanyakan bagaimana pria yang keluar dari penjara itu begitu berbeda. Mandela, katanya, membenci pertanyaan itu. Akhirnya suatu hari dia menjawab, ”Saya keluar sebagai orang dewasa”.
Mandela akan merayakan ulang tahunnya hari Jumat ini secara pribadi dengan keluarga di Qunu, desa masa kecilnya, 1.000 kilometer selatan Johanesburg. Di tempat ini, dia membangun sebuah replika dari rumah di mana dia ditahan sebentar, setelah dipindahkan dari penjara Pulau Robben.
Jumat ini dia juga akan merayakan 10 tahun pernikahannya dengan Gracia Matchel. Orang-orang yang dekat dengan Madela mengatakan, pasangan itu sangat saling mencintai.

Dalam sebuah wawancara dengan CNN menyambut ulang tahun Mandela, sang istri mengatakan, satu-satunya penyesalan yang dimiliki Mandela adalah tidak sempat memberi masukan bagi perkembangan anak-anak karena dia dipenjara semasa anak-anaknya tumbuh besar.
Ketika ditanyakan apakah usia tua membuat Mandela yang pejuang itu frustasi, istrinya mengatakan, satu-satunya hal yang membuat Mandela frustasi adalah berjalan. ”Kala dia berusaha, dia merasa, seperti menurutnya, seakan-akan lututnya tidak mau bekerja sama”.
Menurut Gracia, Mandela adalah orang yang sangat nyaman dengan dirinya, sangat bahagia dengan dirinya. Pada ujung hidupnya, kata Gracia, Mandela menyadari, walau tidak mengungkapkannya, dia mencapai hal-hal yang dulu ditetapkannya sebagai tujuan hidupnya.

Belajar dari Korea Selatan

Oleh
SRI HARTATI SAMHADI
Dicuplik dari Harian KOMPAS, Jumat 18 Juli 2008 halaman 01

Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China, bergurulah pada strategi pembangunan ekonomi dan industrialisasi pada Korea Selatan. Mungkin itu adalah pepatah paling tepat untuk Indonesia. Korsel adalah Negara yang dalam empat dekade sejak merdeka tahun 1945 mampu melakukan transformasi ekonomi secara dramatis.
Dari semula salah satu negara pertanian tradisional paling miskin yang baru bangkit dari puing-puing Perang Korea dan penjajahan Jepang, menjadi negara industri modern paling dinamis dan diperhitungkan dunia.

Dekan Graduate School of International Studies, Seoul National University, Taeho Bark, menggambarkan Korsel hingga akhir 1950-an ibarat negara tanpa harapan. Perekonomian waktu itu masih didominasi sektor pertanian tradisional, miskin, nyaris tanpa sumber daya alam (SDA), dan inflasi tertinggi di dunia.

Begitu miskinnya, menurut Deputi I Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Anne O Krueger, untuk sekadar bertahan, Korsel harus bergantung pada utang luar negeri. Saking miskinnya, AS juga sampai memutuskan mengurangi bantuan karena mengira Korsel tidak akan pernah bisa tumbuh.

Tak sampai empat dekade kemudian, Korsel menjungkirkan semua pesimisme dan menyalip negara yang pernah memandang sebelah mata. Sikap AS itu justru membuat Korsel sadar, hanya kebijakan radikal yang bisa membebaskan perekonomian dari stagnasi dan kemiskinan.

Dalam 4,5 dekade, produk domestic bruto (PDB) Korsel meningkat 420 kali lipat dari 2,3 mliar dollar AS (1962) menjadi 969,9 milliar dollar AS (2007), sementara PDB per kapita naik 230 kali dari 87 dollar AS menjadi 20.045 dollar AS per tahun.
Korsel juga mencatat pertumbuhan ekspor rata-rata di atas 30 persen per tahun selama tiga dekade lebih. Nilai ekspor melonjak dari 3 persen dari PDB (1962) menjadi 37 persen dari PDB (2000). Ekspor yang sebelumnya 88 persen berupa produk primer, tahun 2004 sekitar 97 persennya berupa manufaktur teknologi tinggi.
Volume perdagangan meningkat 66 kali lipat dari 11 miliar dollar AS (1974) menjadi 728 miliar dollar AS (2007). Ini menempatkan Korsel sebagai kekuatan dagang ke-11 terbesar dunia. Korsel juga pemilik cadangan devisa terbesar keempat.

Di semua komoditas ekspor unggulan, Korsel hampir selalu mendominasi: nomor satu di industri pembuatan kapal; ketiga di semikonduktor; keempat di digital elektronik; kelima untuk baja, petrokimia, dan tekstil; serta kelima di otomotif.

Kunci sukses

Bagaimana dari negara miskin sumber daya, Korsel bisa membangun kekuatan industri yang begitu dahsyat? Kasus Korsel menunjukkan kunci sukses suatu pembangunan ekonomi bukan terletak pada ada atau tidak adanya SDA, tetapi pada ada tidaknya kemauan dan kemampuan manusianya, terutama level pemimpinnya, dan pada pilihan pilihan strategi kebijakan.
Keberhasilan Korsel, menurut ekonom Korea Institut for International Economic Policy, Chuk Kyo Kim, adalah karena negara ini memberikan perhatian besar pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan.
Sukses Korsel juga ditopang oleh tumbuh suburnya jiwa kewiraswastaan, tenaga kerja yang sangat terlatih, pengelolaan utang luar negeri yang baik, pemerintahan yang relatif bersih, iklim perdagangan dunia yang liberal, makroekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik yang relatif bebas dari konflik.
Keberhasilan Korsel jelas didukung oleh budaya kerja keras dan etos kerja yang tinggi. Orang Korsel dikenal sebagai pekerja keras, dengan jam kerja jauh lebih panjang dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) lain. Faktor lain adalah adanya kemitraan kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan tantangan baru.

Dari sisi strategi kebijakan, dari awal penguasa Korsel menyadari pentingnya mengembangkan sektor generatif. Hal itu meliputi sektor-sektor ekonomi unggulan yang secara simultan bisa menjadi sumber akumulasi kapital dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan berbagai industri turunan dan industri terkait, sekaligus sumber inovasi teknologi dan kelembagaan, seperti pada kasus industri baja dan industri pembuatan kapal.
Industri baja yang kuat menjadi katalis bagi tumbuhnya industri otomotif, pembangunan kapal, peti kemas, jalan raya, konstruksi, dan industri perlengkapan rumah tangga, yang saling mendukung dan memperkuat. Sementara itu, industri pembuatan kapal melahirkan industri rekayasa elektrik, elektronik, kimia, material, dan mekanis.

Terbangunnya industri generatif yang kokoh dimungkinkan karena ada dukungan total dari pemerintah, tak hanya insentif dan pendanaan, tetapi juga dihapuskannya berbagai hambatan. Kesabaran, konsistensi, dan ketekunan Korsel mengembangkan industri generatif di awal industrialisasi menunjukkan pentingnya strategi “memperbesar kue ekonomi” lebih dulu sebagai jalan keluar dari kemiskinan ketimbang sibuk mencari cara untuk menggerogoti kue demi kepentingan diri sendiri seperti terjadi di Indonesia.

Jumat, 18 Juli 2008

Visi Bangsa Perlu Dirumuskan Bersama

Dicuplik dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Senin, 16 Juni 2008 halaman 4

Surabaya, KOMPAS – Seorang pemimpin Indonesia harus memiliki visi ke depan. Visi tersebut perlu dirumuskan bersama berdasarkan cita-cita bangsa.
“Visi bangsa ke depan perlu dirumuskan bersama sehingga menjadi konsensus nasional yang baru. Jangan seperti sekarang, sepuluh tahun setelah reformasi malah kebablasan dan seperti tidak tahu arah”, tutur Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamadyah Din Syamsuddin sebelum membuka Musyawarah Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Wilayah Muhammadiyah Jatim di Kantor Pimpinan Muhammadiyah Jatim di Surabaya, Minggu (15/6).
Dalam acara itu diresmikan pula gedung baru Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jatim di Jalan Kartomenanggal, Surabaya.

Din mengatakan, seorang pemimpin Indonesia harus memiliki keterampilan mengelola Negara (managerial skill). Dengan keterampilan itu, sosok tersebut mampu menggalang potensi-potensi beragam yang ada di Indonesia. “Jadi pemimpin Indonesia harus bisa menjadi solidarity maker. Moral juga penting, kejujuran itu mutlak”, ujar Din.
Saat ini, kata Din, masing-masing pihak hiruk-pikuk mengekspresikan diri dalam egoisme kelompok. Akibatnya, hanya terjadi kericuhan dan Indonesia kehilangan momentum.
Semestinya, kata Din, ada yang yang memprakarsai perumusan cita-cita bersama ini, baik dari pemimpin formal maupun pemimpin nonformal.
Jika tidak ada yang memprakarsai, setiap institusi termasuk Muhammadiyah dapat menciptakan model-model serupa.
Kendati demikian, Din menyatakan Muhammadiyah tidak mempersiapkan diri untuk memprakarsai penyusunan visi bangsa secara khusus.
“Kami tidak ingin disebut pahlawan di siang bolong dan Muhammadiyah tidak berpretensi apa-apa”, ujarnya.
Adapun mengenai kader Muhammadiyah yang direkrut untuk kepentingan politik, menurut Din, hal itu sudah biasa terjadi.

Konsultasi dulu
Mengenai kemungkinan akan dilamar untuk menjadi salah satu calon pemimpin Indonesia, Din mengatakan akan berkonsultasi dengan para pengurus Muhammadiyah terlebih dahulu.
Jika diperbolehkan, baru dilihat dengan siapa dan kemungkinan kemenangannya. (INA).

Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan

CITA-CITA
Dikutip dari Rubrik FOKUS.FORUM MANGUNWIJAYA III di Harian KOMPAS, Jumat, 4 Juli 2008 halaman 41.

Sekarang terjadi diskrepansi antara harapan dan kenyataan. Cita-cita bangsa kita ialah mewujudkan negara kesejahteraan, sebuah negara yang berdiri pada tiga pilar: pemerintahan yang kuat, pasar yang kompetitif, serta masyarakat sipil yang bebas dan kritis. Dengan begitu, kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan diharapkan dapat dinikmati oleh semua warga negara, termasuk dalam hal pendidikan..

Oleh A FERRY T INDRATNO

Hal itu terinspirasi dari model demokrasi sosial, di mana negara sebagai regulator, fasilitator, dan redistributor sumber-sumber daya yang ada dalam masyarakat. Pasar diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya, tapi tetap ikut dalam regulasi negara sebagai koridor aturan main. Negara menjadi pengawas pasar dan masyarakat sipil. Pajak progresif diberlakukan agar pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum terjangkau oleh semua warga.
Akan tetapi, sekarang kita terjebak dalam neoliberalisme, di mana negara semakin jauh menangani urusan publik. Pendidikan tidak bisa lagi menjadi alat pembebas dan gagal menjadi alat mobilisasi sosial. Justru yang terjadi sebaliknya: pendidikan menjadi alat reproduksi kelas.
Ada filosofi yang diperdebatkan dalam liberalisme. Sayap demokrasi protektif serta sayap yang mengebiri negara dan memberi peran pasar seluas-luasnya. Yang pertama dipelopori oleh John Stuart Mill dan yang kedua dipelopori oleh Freidrich vin Hayek. John stuart Mill ini sebetulnya lebih dekat dengan cita-cita UUD 1945.
Menurut John Stuart Mill, masyarakat yang kompetitif akan mengembangkan segalanya, tetapi harus ada proteksi terhadap demokrasi. Kalau tidak diproteksi, demokrasi akan gagal menciptakan SDM-SDM yang baik, seperti terjadi di Indonesia. Apa yang harus diproteksi? Pendidikan dan kesehatan karena akan menghasilkan SDM yang siap untuk bersaing. Friedrich von Hayek lebih menekankan pada perlindungan hak. Oleh karena itu, ia lebih memihak pada pasar dan kemudian mengebiri negara. Dalam situasi demokrasi yang beku, Indonesia memilih jalur von Hayek.

Globalisasi dan potret SDM
Di tengah kebijakan negara yang tidak mau memproteksi sektor publik, terjadi perubahan besar di dunia. Thomas L Friedman (2005) menyebutnya sebagai the world is flat. Menurut Sri Adiningsih, dalam dunia yang berubah sekarang ini pertempuran dan persaingan sudah head to head, ada pergeseran luar biasa yang akan memengaruhi desain pendidikan kita.
Pada globalisasi jilid pertama (abad XVIII-IXX), negara memegang peranan dalam mengekspansi dunia. Globalisasi jilid kedua (abad XX) adalah masa multinational corporation (perusahaan multinasional), di mana globalisasi di-drived oleh multinational corporation firm.
Saat ini kita telah memasuki globalisasi jilid ketiga, yang men-drive individu-individu. Persaingan dan pertempuran terjadi bukan lagi antarnegara atau antarkorporasi, melainkan antar orang. Saat ini orang harus memasarkan dirinya sendiri. Setiap orang agar bisa bertahan harus menguasai internet, bahasa internasional, dan informasi.
Perubahan dunia ini besar pengaruhnya pada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pada globalisasi jilid pertama kita dijajah oleh Belanda, Inggris, dan Jepang. Globalisasi jilid kedua multinational corporation menghantam kemandirian kita sebagai suatu bangsa. Kita tidak punya kemandirian di bidang pangan, energi, dan modal. Kalau pada globalisasi jilid satu dan kedua kita sudah tidak survive, pada gelombang ketiga pun kita akan kalah bersaing kalau kita tidak menyiapkan SDM yang terdidik mulai dari sekarang.
Bagaimana SDM kita saat ini? Kualitas SDM Indonesia termasuk ”terbelakang” dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Secara kuantitas SDM kita besar, tetapi secara kualitas kita kalah. Dilihat dari human development index dan indikator lainnya, Indonesia kalah dari negara tetangga yang selevel di ASEAN, misalnya Malaysia.

Sekolah Rakyat Pancasila
Francis Wahono melihat keterpurukan Indonesia di antaranya disebabkan politik pendidikan rakyat Pancasila tahun1950 diganti politik pendidikan pemerintah ala militerisme zaman Jepang pada tahun 1970-an sampai 1990-an dan kini tahun 2000-an diganti lagi dengan politik pendidikan pemerintah gaya partai pencari rente proyek dengan pembenaran edeologi neoliberalisme.
Menurut Wahono, jika keindonesiamerdekaan kita ala pendiri bangsa hendak dilahirkan kembali dari lumpur keterpurukan, revolusi pendidikan ala pendidikan rakyat Pancasila, di mana pendidikan ala Mangunwijaya dapat menjadi contoh hidup dan inisiatif-inisiatif alternatif dapat terwadahi, harus diselenggarakan.
Sebagai titik pangkal, dokumentasi dua buku Sutedjo Bradjanagara yang terbit pada tahun 1950-an dapat menjadi acuan. Buku pertama ditulis oleh S Bradjanagara dan L Kartasoebrata, berjudul Djalan Baru untuk Memperbaharui Pendidikan dan Pengajaran, Sekolah Rakyat Pancasila. Buku kedua yang melengkapi buku pertama, juga ditulis Sutedjo Bradjanagara, berjudul Sedjarah Pendidikan Indonesia, Yogyakarta, 1956.
Buku pertama menguraikan detail Sekolah Rakyat Pancasila, buku kedua tentang sitz im leben-nya, konteks dan alasan kelahiran dan keberadaannya. Sutedjo Bradjanagara adalah Ketua Badan Kongres Pendidikan Indonesia pada kurun waktu itu.
Untuk memulai Sekolah Rakyat Pancasila dibutuhkan perubahan komitmen, filosofi, kurikulum, retraining guru, termasuk menguasai sejarah pendidikan dunia atau pun perjuangan bangsa Indonesia. Biaya untuk menyelenggarakan tentu lebih murah daripada biaya menyelenggarakan ujian nasional dan ikutannya. Anggaran 2 persen dari APBN tetap harus dipenuhi.
Ada dua dasar untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran ala Sekolah Rakyat Pancasila, yakni pengajaran harus diberikan menurut kodrat dan kebutuhan anak serta sekolah harus berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Pendidikan harus menghilangkan penyeragaman karena akan mematikan kreativitas anak. Sekolah menjadi bagian organis dari masyarakat, untuk masa depan masyarakatnya, bukan alat kekuasaan, pun bukan alat menajamkan elitisme dan fanatisme.
Guru harus tahu betul keadaan lingkungan sekitar sekolah. Bahan-bahan apa yang ada di sekitar sekolah yang dapat digunakan sebagai bahan pengajaran. Dalam bentuk apa bahan-bahan itu akan diajarkan. Bahan dapat diambil dari jalannya musim, pesta desa, dan adat istiadat. Pengajaran berbahan lingkungan ini cocok untuk kelas rendah sampai kelas IV, sedangkan untuk kelas V dan VI harus dibawa lebih jauh dari lingkungannya. Anak-anak senang menjelajah yang di luar lingkungan desan atau kampungnya, tetapi tetap harus bertolak dari sumber belajar sekitar.
Konsep Sekolah Rakyat Pancasila sejalan dengan apa yang diusulkan Sri Adiningsih bahwa untuk memenangi persaingan pada era globalisasi ketiga dibutuhkan sistem pendidikan yang glocalization. Kita berpikir secara global, tetapi harus bertindak secara lokal. Think globally, act locally!

Berkreasi
Saat ini Departemen Pendidikan Nasional menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah boleh berkreasi menciptakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konteks siswa dan lingkungannya. Namun, KTSP itu tidak berguna karena standarnya tetap dibuat pemerintah pusat dan diuji secara nasional melalui ujian nasional. Sekolah dan guru lebih memilih jalan aman, mengikuti instruksi dinas setempat.
Dari sisi kebudayaan, pendidikan bertugas menyuburkan kebudayaan bangsa, kepribadian bangsa, dan menjunjung harga diri bangsa dalam pergaulan internasional. Dalam negara merdeka, kebebasan jiwa dipentingkan sekali.
Stelsel klasikal dan montessori dapat secara bergilir ditukar satu sama lain. Stelsel klasikal guru menghadapi murid dalam satu kelas, sedangkan montessori berpusat pada kreativitas pribadi. Jalan tengah adalah stelsel dalto. Ada kebebasan dalam suatu kelompok. Yang hendak dibangun oleh Sekolah Rakyat Pancasila adalah masyarakat Pancasila, masyarakat yang bersifat nasional, demokratis, berperikemanusiaan dan berketuhanan untuk dapat mewujudkan keadilan sosial. Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap serta warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat di Tanah Air.
Sekolah Rakyat Pancasila dari faktor tempat dan ruang juga disusun sedemikian rupa sehingga pendidikan sarat lingkungan dan partisipatif aktif dapat dilaksanakan. Sebagai ganti lapangan konblok di tengah sekolah, dalam bangunan yang membentuk lingkaran, di dalamnya ada panggung kesenian, kolam ikan, dan taman. Sementara itu, di pinggir belakang ada tempat bengkel dan toko hasil kerajinan tangan.
Bila substansi Sekolah Rakyat Pancasila kita jadikan landasan pembelajaran sekarang ini, merupakan revolusi pendidikan, pendorong, dan pelancar usaha melahirkan kembali keindonesiamerdekaan sera dapat menghasilkan SDM yang memiliki kemandirian, harga diri, cinta bangsa, dan daya saing menghadapi globalisasi jilid ketiga.

A FERRY T INDRATNO
Anggota staf Dinamika Edukasi Dasar

Kembali

Obama dan Reformasi Indonesia

Oleh
R William Liddle
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Selasa, 10 Juni 2008 halaman 6

Barack Obama, seorang muda, setengah hitam, anggota Senat dari Negara Bagian Illinois yang baru dipilih dua tahun lalu, dipastikan akan dinobatkan partainya sebagai calon presiden dalam pemilihan umum Amerika bulan November mendatang.
Ia mengalahkan hampir selusin politisi kawakan yang jam terbangnya lebih tinggi, termasuk Hillary Clinton, Senator senior New York, politikus perempuan paling mencolok di AS selama puluhan tahun.

Arti bagi Indonesia
Apa penyebab kemenangan ini dan apa relevansinya bagi Indonesia? Sebagai warga negara yang lama terlibat politik Amerika, saya melihat empat alasan penting bagi kemenangan Obama.

Pertama, tuntutan ide demokrasi sebagai fondasi bangunan negara kami; aturan pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah luas, yang berbeda dengan pemerintahan parlementer dalam negara sentralistis; Amerika sebagai negara majemuk yang senantiasa terbuka kepada imigran; sejarah Partai Demokrat, partai yang memilih Obama sebagai calon presidennya.

Pengalaman Indonesia dan Amerika tentu saja tidak serupa, tetapi ada banyak kesamaan, khususnya jika kita bersedia melihat beberapa tahun ke depan.
All men are created equal (semua orang diciptakan setara). Dalam Pernyataan Kemerdekaan Amerika, saat kami memisahkan diri dari Kerajaan Inggris, tidak ada ide yang lebih dasar atau inti. Meski Thomas Jefferson dan rekan-rekannya, yang menyusun kalimat itu, masih memiliki budak dari Afrika, mereka memahami, orang hitam juga manusia. Suatu saat kaum budak akan memanfaatkan kata-kata luhur yang tertera dalam Pernyataan Kemerdekaan guna menuntut kebebasan yang merupakan hak mereka.
Pada abad ke-21, orang hitam Amerika telah berjuang ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui perang saudara pada abad ke-19 dan gerakan hak sipil, perjuangan hak asasi, akhir abad ke-20. pencalonan Obama adalah langkah lanjut dari perjuangan yang belum selesai ini.

Demokrasi presidensial
Kedua, jenis demokrasi Amerika, yaitu demokrasi presidensial dalam wadah otonomi daerah, juga berpengaruh. Di Negara-negara sentralistis parlementer seperti Inggris, para politisi muda hanya bisa naik ke puncak pemerintahan lewat jendela partai. Mereka diberi latihan khusus dan tugas-tugas kecil selama beberapa tahun sebelum diizinkan masuk Parlemen. Di Parlemen, mereka menjadi backbencher, yang benar-benar bermakna anggota yang duduk di bangku belakang dan dilarang merepotkan pemimpin partai.
Tonny Blair harus melalui proses pengujian sebelum dipercayai duduk di kabinet, apalagi diangkat sebagai perdana menteri. Dalam pemerintahan parlementer, seorang Obama tidak mungkin menerobos dinding partai pada usia muda. Dalam Negara sentralistis, Obama tidak mungkin melompat langsung dari daerah ke pusat.

Ketiga, selama 200 tahun kami berhasil mempertahankan sebuah open door policy, kebijakan pintu terbuka. Itu tidak berarti, para pendatang selalu diperlakukan dengan baik. Orang Tionghoa pada akhir abad ke-19, orang Jerman dan Jepang pada Perang Dunia I dan II, orang Meksiko dan Arab pada masa kini (yang diwarnai globalisasi ekonomi dan teror politik), semua dicurigai dan kadang diancam pengusiran. Namun, Samuel Huntington hanya separuh benar saat mengakui dalam buku kontroversialnya, Who Are We?, bahwa sukses Amerika tidak bisa dilepaskan dari akar budaya Inggris Protestan pada zaman Pencerahan. Yang seluruhnya benar adalah Amerika dari awal sampai kini adalah produk hibridisasi. Barack Obama mewakili dan membuktikan kenyataan itu.

Keempat, Barack Obama adalah hasil sejarah Partai Demokrat yang merangkul orang hitam pada masa pemerintahan Franklin Roosevelt, yang mulai menjabat sebelum Perang Dunia II. Sayang, selama puluhan tahun partai itu bersikap skizofrenia, sekaligus mewakili kelas buruh di Utara, termasuk orang hitam yang bekerja di pabrik industri, serta tuan tanah di Selatan yang bersikap rasis.
Setelah John Kennedy menjadi presiden tahun 1960, Partai Demokrat sungguh-sungguh memperjuangkan hak-hak orang hitam. Secara tidak sengaja, kaum Demokrat dibantu pemimpin Partai Republik Richard Nixon, yang pada awal 1970-an mencari dukungan orang putih dengan “strategi selatan“-nya. Nixon menang di hampir semua negara bagian Selatan, tetapi ongkosnya besar. Sampai kini hampir 80 persen orang hitam di seluruh Amerika menjadi pendukung setia Partai Demokrat. Mereka merupakan salah satu basis utama Obama dalam primary elections, pemilihan pendahuluan yang diadakan selama 2008.

Politisi baru menggeliat
Di Indonesia, garis besar pemilihan presiden tahun 2009 cukup jelas. Presiden Yudhoyono, yang berasal dari kelas politisi Orde Baru, akan dilawan calon-calon yang juga sudah lama dikenal para pemilih. Sebaiknya jangan berharap akan ada calon baru – muda, pintar, terampil bicara, penuh ide untuk memecahkan aneka masalah bangsa, dan dari golongan minoritas – yang menggiurkan seperti Obama.

Meski demikian, sejarah singkat reformasi Indonesia – khususnya sejak 2004, di pusat dan di daerah – memberi kesan kuat, sebuah kelas politisi baru mulai menggeliat. Seperti Amerika, Indonesia adalah masyarakat majemuk yang restless, terus bergerak. Negara-negara kita sedang memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi, termasuk pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah, guna menemukan jawaban serba baru pada tuntutan zaman yang serba baru. Jadi, jangan terlalu terkejut jika ada seorang Obama ala Indonesia yang muncul mendadak dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

R WILLIAM LIDDLE
Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan “Ngelmu”

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh
RIKARD BAGUN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin 14 Juli 2008, halaman 1.

Tidak gampang menemukan rumpun kaum intelektual Indonesia yang duduk gelisah karena tergetar oleh momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Benar-benar mati angin!

Gelora kegelisahan hanya bergerak sepoi-sepoi, tidak dapat diubah menjadi badai yang mampu memaksa kaum cerdik pandai duduk bersama, memandang dengan sorotan tajam masa depan bangsa, tanpa membiarkan sedikit pun mata terkedip bagi Indonesia yang lebih baik.
Resonansi atas kenyataan itu seakan bersahutan atau berbalas pantun dengan pertanyaan, mengapa Indonesia tidak bangkit-bangkitmeski begitu banyak sarjana, kaum cerdik pandai, kaum intelektual, dan ilmuwan?

Indonesia masih terus saja berada dalam pusaran krisis bawaan sejak 1998, yang diperburuk oleh kondisi global yang sedang dikepung oleh krisis pangan, energi, dan pergolakan keuangan. Paling tidak34,9 juta rakyat Indonesia hidup miskin.
Celah perubahan dan perbaikan akan semakin sulit ditemukan jika kaum intelektual Indonesia kehilangan sensitivitas menangkap panggilan sejarah untuk melancarkan secara serempak transformasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berjangkauan jauh ke depan.

Namun, siapakah yang pantas disebut kaum intelektual itu?
Tidak ada rumusan baku, tetapi setiap orang yang melek huruf berpotensi menjadi intelektual, apalagi yang sudah sarjana.
Sudah menjadi kredo, kontribusi kaum intelektual bagi peradaban dan kemanusiaan dalam perjalanan panjang sejarah sangat menentukan sebagai keniscayaan, syarat mutlak, conditio sine qua non. Namun, mengapa sulit sekali menemukan jejak kaum intelektual Indonesia, lebih-lebih setelah kemerdekaan.

Permainan waktu
Kelesuan itu terasa jelas pula dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum yang dikhawatirkan akan terancam hilang.
Gejala kedodoran itu terlihat dalam kerepotan menghadapi arus perubahan, yang sangat menuntut kecepatan, the survival of the fastest, yang bertahan yang paling cepat, ketimbang the survival of the fittest, yang bertahan yang paling kuat.

Kemampuan menangkap peluang dalam permainan waktu memang semakin menentukan: “Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya“, tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang berlari tunggang langggang.
Ibarat burung malam minerva, yang dijadikan simbol kebajikan dalam mitologi Yunani karena ketajaman indra penglihatannya menembus pekatnya kegelapan malam, kaum intelektual dengan ketajaman visinya dituntut menjadi sumber pencerahan di kegelapan zaman.
Hanya persoalannya, jangankan mampu melihat yang tidak tembus pandang dan jauh dalam kegelapan masa depan, masalah di depan mata dan di bawah terang benderang matahari saja sering kali tidak mampu diidentifikasi untuk dipecahkan.

Kekuatan pencerahan
Tidak semua kaum intelektual mampu melihat kompleksitas persoalan kemasyarakatan.
Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

Munculnya kaum intelektual organik atau intelektual tradisional sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan kelompok intelektual organik, atau orang yang memiliki kesadaran kritis, bukan kesadaran naif, dalam pengertian Paulo Freire.
Kaum intelektual tradisional lebih nyaman berada tinggi di menara gading ketimbang turun berkeringat dan berpikir keras tentang perubahan masyarakat.

Watak kaum intelektual sejati atau intelektual organik antara lain mampu menjaga kemandirian, tidak mudah dikooptasi oleh kekuasaan, dan kreatif sebagai manusia super bermental tuan, Übermensch, dalam pengertian Freidrich Nietschze.
Ilmuwan biasa atau intelektual tradisional hanya mendaur ulang yang sudah ada, tetapi ilmuwan sejati justru menemnukan yang “belum ada“.

Namun, tantangan kaum intelektual sejati atau intelektual organik semakin berat. Tak sedikit sarjana atau ilmuwan yang terjerumus oleh godaan kekuasaan. Pemikir Perancis Julien Benda menyebut kaum intelektual yang tergoda masuk dalam politik praktis dan bermain dengan kepentingan kekuasaan sebagai penghianat.
Daya kritis kaum intelektual dilumpuhkan dan ditumpulkan dalam pasungan kepentingan kekuasaan dan penguasa. Padahal, kaum intelektual harus menjadi kekuatan antitesis kekuasaan. Selalu cemas agar bangunan kekuasaan tak sampai tumbuh mencakar langit atau menjadi mahluk dasar laut yang mengerikan seperti leviathan.

Namun, kiprah ilmuwan tidak mungkin berkembang dan optimal jika secara kultural tidak kondusif pula, yang membuat berbagai temuan penting kaum ilmuwan ditelantarkan.
Ruang bagi kaum intelektual berkiprah semakin terpasung jika penguasa maupun rakyat sama-sama melakoni budaya, lebih suka ngelmu ketimbang ilmu, lebih suka berpikir mistis ketimbang kritis.

Visi, dalam Senang maupun Susah

Oleh
Ninok Leksono
Dikutip oleh YRA dari Rubrik IPTEK di Harian KOMPAS, Kamis, 12 Juni 2008 halaman 15.


”Pada tahun 1945 (Arthur C) Clarke mengajukan bahwa satelit geostasioner akan merupakan pemancar ulang ideal bagi komunikasi. Sejak itu, (ide tersebut) merevolusi komunikasi dan peramalan cuaca.” (Saswato R Das, penulis, IHT, 21/3/2008)

Di zaman serba susah seperti sekarang ini, minat untuk hal-hal serius boleh jadi surut. Namun, pesan dari kalangan bisnis justru sebaliknya. Di masa susah, beriklanlah dan berinvestasilah. Itu bisa menjelaskan, mengapa penjualan berbagai hal yang bisa meningkatkan daya saing justru melonjak saat ini.
Ya, justru di masa susah, visi perlu semakin dikembangkan, ide dan keterampilan diasah. Kearifannya adalah agar pada saat keadaan membaik, orang yang tetap mengembangkan diri di masa sulit akan berada dalam posisi lebih baik.
Dalam khazanah ilmu pengetahuan, salah satu sosok yang amat menonjol dalam visi adalah Arthur C Clarke. Tokoh ini telah berpulang tanggal 19 Maret lalu, tetapi masih ada hal bermanfaat yang bisa diwacanakan darinya. Bahkan, kalau sekarang ini orang berpakaian berdasarkan ramalan cuaca atau menggunakan alat global positioning system (GPS) untuk menetapkan arah perjalanan, itu karena jasa Clarke. Adanya satelit komunikasi geostasioner yang memudahkan warga dunia berkomunikasi – seperti disebut dalam kutipan di atas – tidak bisa dilepaskan dari sumbangan pemikiran Clarke.
Satelit yang mulai diwujudkan pada awal tahun 1960-an itu ternyata sudah mulai dipikirkan Clarke ketika ia masih menjadi perwira Angkatan Udara Inggris semasa Perang Dunia II. Tepatnya pada tahun 1945 itulah Clarke mengemukakan bahwa satelit geostasioner – yaitu satelit yang periode orbitnya sama dengan rotasi Bumi atau sekitar 24 jam – akan pas sebagai pemancar ulang komunikasi. Ketika diwujudkan, memang sistem ini merevolusi komunikasi dan peramalan cuaca.
Orang juga bisa mengatakan, kalau tidak dipicu Clarke, bisa jadi tidak ada pendaratan di Bulan. Sebagai penulis fiksi ilmiah, pada tahun 1952 Clarke menulis buku Eksplorasi Ruang Angkasa. Rupanya buku tersebut digunakan oleh pelopor roket, Wernher von Braun, untuk meyakinkan Presiden John F Kennedy bahwa perjalanan ke Bulan merupakan satu hal yang mungkin.

Masa depan teknologi
Clarke lalu dikenal sebagai visioner teknologi karena ramalannya mengenai masa depan teknologi tidak meleset. Visi atau penglihatan atas masa depan yang jauh itu kini bahkan masih sedang diuji lagi.
Tatkala dikunjungi oleh penulis masalah astronomi, Saswato R Das, di Colombo, Sri Lanka, awal tahun ini, Clarke – masih dalam soal eksplorasi angkasa – mengatakan bahwa dalam kurun 50 tahun lagi, ada ribuan orang yang akan terbang ke orbit, lalu ke Bulan, dan benda langit yang lebih jauh (IHT, 21/3).
Hal lain yang juga ia lihat akan muncul di masa depan adalah lift atau elevator angkasa. Ini adalah kabel besar yang akan dipasang untuk menghubungkan Bumi dan antariksa, dan melalui kabel itulah nanti akan dikirim muatan ke wahana antariksa dengan menggunakan kendaraan elektromagnetik.
Clarke mendapatkan kemampuan mengembangkan visi dari kesukaannya membaca fiksi ilmiah, yang menghadirkan cerita-cerita mendebarkan dengan bumbu ilmu pengetahuan.
Seperti dituturkan Das, Clarke dari sejak masa kecil di Inggris barat membaca majalah fiksi ilmiah Amerika sebanyak yan ia bisa jangkau. Clarke mengakui, pengaruh fiksi ilmiah tersebut demikian besar terhadap dirinya.
Bacaan saja mungkin belum cukup karena meramal masa depan teknologi tidak mudah. Akan tetapi, Clarke pun sudah meramal dengan jitu tentang lahirnya komunikasi seluler (mobile) yang akan membuat seseorang tak bisa lagi lepas dari masyarakatnya, apakah dia di tengah samudra atau di pucuk gunung. Dalam majalah Life tahun 1962 yang dijadikan rujukan Das, Clarke juga telah menyinggung adanya perpustakaan elektronik, hal yang kini sudah menjadi kenyataan.

Visi yang menuntun arah
Riwayat Clarke hanyalah sebuah ilustrasi bahwa visi besar bisa menuntun peradaban untuk bergerak menuju ke satu arah yang baik. Di Tanah Air, kita juga masih mendengar adanya tokoh yang memunculkan visi ke depan. Mantan Presiden BJ Habibie pernah menghadirkan visi tentang terbangunnya Jembatan Nusantara yang ditopang oleh pesawat terbang buatan industri dalam negeri. Pakar mikrobiologi yang kini guru besar UI, Pratiwi Sudarmono, pernah menyebutkan keinginan menemukan alternatif antibiotik. Terakhir kita juga mendengar adanya “Visi 2030” yang dikeluarkan oleh satu kelompok peneliti ekonomi.
Memang dewasa ini keadaan negara masih terus diliputi situasi karut-marut dan keterbatasan dana. Kalau sekadar mengikuti keadaan yang ada, boleh jadi riset tentang antariksa, tentang rekayasa genetika, atau nanoteknologi terdengar kurang relevan atau anatematik.
Akan tetapi, generasi masa kini akan menanggung malu besar pada generasi Indonesia 50 tahun ke depan jika tak memunculkan ide besar dari kurun awal abad ke-21 ini. Generasi masa datang itu akan mengenang generasi masa kini bukan saja tidak visioner, tetapi – lebih buruk lagi – sekadar generasi kelas ringan, yang pandainya hanya korupsi dan berebut kekuasaan.
Ketika bangsa lain terus tumbuh dengan berbagai visi hebat tentang pengembaraan ruang angkasa, tentang tersedianya energi melimpah dari fusi dingin, dan kecukupan pangan karena bibit unggul hasil rekayasa genetika, bangsa Indonesia harus ikut menampilkan visinya sendiri – sebagai bukti bahwa pikiran tidak terbelenggu oleh pagebluk dan kesusahan.

NINOK LEKSONO

Fenomena Obama dan Internet

Oleh
Philips J Vermonte
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 12 Juni 2008 halaman 6.

Berakhirnya pemilihan pendahuluan untuk memilih calon presiden dari Partai Demokrat, posisi Barack Obama sebagai figur penting dalam politik di AS kian kokoh.

Banyak tulisan menggambarkan karisma Obama yang ditandai dengan kepiawaiannya berpidato sebagai sebab utama mengapa Obama tampil begitu fenomenal dalam kampanye pemilihan presiden AS kali ini.

Figur baru
Obama yang berkulit hitam dinilai sebagai figur inspirasional, menjadi ajang pembuktian American dream di mana tidak ada yang bisa membatasi mimpi seseorang. Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden AS.
Namun, diskusi yang dibatasi karisma atau kepiawaian berpidato akan mengaburkan pesan mendasar Obama, yaitu tentang munculnya sebuah ”politik baru” dalam lanskap politik di AS.
Obama adalah figur baru dalam politik AS. Namun, idealisme dan pengalamannya selama beberapa tahun menjadi community organizer di sudut miskin Chicago selepas lulus Universitas Harvard meyakinkan Obama bahwa politik harus bersifat bottom-up bukan top-down. Keyakinan untuk mewujudkan politik bottom-up ini mewarnai cara Obama mengelola kampanyenya.
Majalah The Atlantic Monthly (Juni 2008) menurunkan laporan tentang mesin politik Obama. Kunci kesuksesan Obama adalah kemampuannya mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam seluruh kampanyenya.
“Kampanye” paling awal Obama adalah sebuah malam pengumpulan dana di Silicon Valley. Pengumpulan dana yang berlangsung sebelum Obama resmi menjadi mendeklarasikan diri menjadi calon presiden ini terbukti menjadi basis bagi mesin kampanyenya. Para entrepreneur teknologi di Silicon Valley, dari perusahaan kecil dan besar, bergabung dengan Obama dan membantu merancang kampanye pengumpulan dana melalui internet. Chris Hughes, pendiri situs Facebook – sebuah jaringan sosial berbaris internet paling popular di kalangan mahasiswa dan pelajar di AS – memutuskan cuti dari perusahaannya itu agar bisa bekerja full-time di markas besar tim kampanye Obama di Chicago.
Jaringan sosial berbasis internet itu selanjutnya menjadi tulang punggung penggalangan dana dan media bagi para relawan dalam tim kampanye Obama.
Berkat kecanggihan memanfaatkan jaringan internet, tim kampanye Obama memiliki 750.000 relawan aktif, 8.000 kelompok pendukung, dan tim ini mengorganisasi 30.000 events dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Video-video rekaman pidato dan event-event yang dihadiri Obama bisa diakses gratis melalui podcast di iTunes store. Hasilnya, ratusan ribu orang bisa merasakan gemuruh pendukung Obama di tempat kampanye dan menangkap pesan kampanye melalui layer iPod masing-masing. Youtube, Facebook, iPod-podcast, dan My-space. Secara cerdas, internet dimanfaatkan Obama dengan efektivitas yang tak dapat ditandingi kandidat lain.

Dominasi internet
Donasi melalui internet adalah politik baru yang dibawa tim kampanye Obama. Tercatat, Obama menerima donasi dari 1,3 juta orang melalui internet. Kenyataan ini menghancurkan paradigma lama pengumpulan dana melalui lobbyist dan pebisnis besar. Obama lebih mengandalkan donasi berjumlah kecil dari massa pemilih yang berjumlah jutaan orang. Tim kampanye Obama melaporkan, 94 persen donasi yang mereka terima dating dari individu-individu yang menyumbang kurang dari 200 dollar AS.
Angka ini amat kontras bila dibandingkan dengan 26 persen yang dilaporkan Hillary Clinton dan 13 persen yang dilaporkan John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Saat Hillary dan John McCain masih mengandalkan donor-donor besar, Obama mentranslasikan politik bottom-up yang dipelajari sebagai community organizer ke dalam pengumpulan dana kampanye menuju Gedung Putih.
Seperti ditulis The Atlantic Monthly, sejarah AS mentatat, transformasi cara berkomunikasi secara regular mengubah wajah politik AS. Andrew Jackson membentuk Partai Demokrat saat teknologi printing mengalami kemajuan pesat pada awal tahun 1800-an. Andrew Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk partai politik. Abraham Lincoln tampil menjadi tokoh legendaris setelah transkrip debat dalam kampanye presidennya yang terkenal disebarluaskan melalui koran-koran yang saat itu menjamur di AS.
Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa-masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif melalui pesan regulernya di radio yang saat itu sedang disempurnakan. John Kennedy menjadi amat popular setelah debat antarcalon presiden dan pertama kali disiarkan televisi. Sejak itu, Kennedy cermat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.

Gairah baru
Hal terpenting lainnya, kampanye Obama membawa gairah baru bagi pemilih di AS. Bersama Hillary, berlomba untuk mencatat sejarah sebagai calon presiden wanita pertama di AS, tim kampanye Obama berhasil memobilisasi voter turnout dalam jumlah mengejutkan. Pemilihan presiden AS kali ini agaknya akan menjadi counter argument bagi ilmuwan politik Robert Putnam yang dalam bukunya, Bowling Alone (2001), mensinyalir, publik AS kian apatis secara politik, antara lain diindikasikan oleh penurunan secara drastis jumlah pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya dari tahun ke tahun.

PHILIPS J VERMONTE
Peneliti CSIS Jakarta; Kandidat Doktor Ilmu Politik
Di Northern Illinois University, AS