Kamis, 14 Agustus 2008

Jayabaya

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008

Oleh Jakob Sumardjo

Ini sama sekali bukan klenik yang menghubungkan nama Jayabaya dengan ramalan-ramalannya. Memang tokoh historis ini juga tokoh mitos Jawa, yang muncul kembali namanya setiap bangsa mengalami masa-masa krisis, masa putus asa, masa penderitaan, yang mengharapkan segera datangnya zaman emas.

Raja Jayabaya hidup dalam abad ke-12 di Kerajaan Panjalu, yang dalam buku-buku sekolah disebut Kediri. Dialah raja yang berhasil mengalahkan saudaranya, raja Kerajaan Jenggala, sehingga kerajaan Jawa bersatu kembali. Kemenangan ini, antara lain, diabadikan dalam prasasti yang dibuatnya pada tahun 1135 yang dikenal sebagai Prasasti Ngantang, dengan semboyan Panjalu Menang (Penjalu Jayati).

Urusan kita bukan dengan kemenangan politik ini, tetapi dengan sebuah karya sastra berbentuk kakawin (puisi) Bharatayudha yang ditulis oleh dua pujangga, Empu Sedah dan Empu Panuluh, pada tahun 1157. Dengan demikian, sekitar 22 tahun setelah Panjalu Jayati, Raja Jayabaya diabadikan dalam kakawin terkenal tersebut.

Yang menarik dari kakawin ini adalah ungkapan sebagai berikut: Pulau Jawa adalah tanah yang subur makmur, sangat indah tiada tara, tetapi negara itu sedang menderita sedih karena dirusak oleh orang-orang jahat. Raja yang memerintah tidak mampu menjaganya.

Batara Wisnu melihat itu, iba hatinya. Karena itu, ia turun ke dunia untuk menjadi raja Jawa demi keamanan dan kesejahteraan kerajaan. Dahulu, sebagai Batara Kresna, ia telah berjaya gilang-gemilang dalam perang (Bharatayudha). Sekarang yang menjadi sesembahan semesta adalah Raja Jayabaya, yang melanjutkan tugas Batara Kresna.

Petikan ini hanya ingin menunjukkan bahwa Pulau Jawa masa lampau lewat 850 tahun lalu sama saja dengan Pulau Jawa zaman sekarang. Syair di atas, kalau dihilangkan Batara Wisnu dan Batara Kresna, akan sama dengan gambaran masa kita kini. ”Tanah Jawa yang subur makmur dirusak oleh orang-orang jahat. Dan raja yang memerintah tak mampu menjaganya.”

Menguasai Jawa

Pulau Jawa dan Indonesia tidak ada bedanya. Jawa yang subur makmur adalah Indonesia yang subur makmur. Sejarah peradaban Indonesia berpusat di Pulau Jawa sehingga DN Aidit pernah menyatakan bahwa menguasai Jawa berarti menguasai Indonesia. Sejarah Indonesia sendiri banyak bermain di Pulau Jawa sejak zaman Hindu-Buddha, Islam, dan kolonial Belanda, kemudian Republik Indonesia. Menguasai Indonesia itu harus dimulai di Pulau Jawa. Jepang melakukannya demikian.

Kesuburan dan kemakmuran Indonesia mengalir ke Pulau Jawa. Rotasi mata uang berpusat di Pulau Jawa dan lebih khusus lagi di Jakarta. Tidak mengherankan apabila arus urbanisasi terpusat ke Jakarta. Kekayaan Indonesia itu adanya di Jakarta sehingga remah-remah yang jatuh menjadi rebutan kaum urbanis.

Dibaca secara modern, Jayabaya dan Bharatayudha adalah gambaran untuk diri kita. Raja Jayabaya yang masih muda bertindak sebagai Kresna, perwujudan Dewa Wisnu yang mencintai keadilan, kemakmuran, dan kedamaian, dapat berubah menjadi Brahala berkepala seribu apabila marah. Kemarahannya ditujukan kepada orang-orang jahat yang membuat negara rusak dan rakyatnya menderita.

Wisnu itu paradoks, seperti halnya Kresna dan Raja Jayabaya. Ia yang adil dan baik hati penuh cinta kasih dapat berubah seketika menjadi perusak maha dahsyat menghancurkan orang- orang jahat yang merusak negara. Dan itulah yang dilakukan Jayabaya dalam perang ”Bharatayudha Jawa”.

Ia melakukan ritual korban dengan persembahan bunga-bunga yang terselip di kepala musuh-musuhnya yang terpenggal, biji-biji mata lawan menjadi butir-butir wijen, dan kota-kota yang terbakar sebagai anglo pembayar kemenyan.

Hutan kejahatan

Raja Jayabaya tidak mau dicatat dalam sejarah sebagai ”raja yang memerintah tidak mampu menjaganya”. Ia telah mulai dengan KPK-nya. Namun, ”orang- orang jahat yang merusak negara” masih terlalu banyak. Mereka ini ibarat semut-semut yang ribuan keluar dari liangnya. Dibunuh lima, yang muncul lima puluh. Dibinasakan yang lima puluh, muncul dua ratus. Dua ratus diluluhlantakkan, muncul seribu. Gila! Orang Jawa akan mengatakannya, nggilani. Bikin bergidik bulu roma akibat lawan tak habis-habisnya.

Kejahatan itu, dalam cerita wayang kulit, ibarat Perang Kembang. The War of the Roses. Dalam setiap cerita, dari generasi ke generasi wayang berikutnya, akan selalu muncul barisan begundal (jahat) yang sama, yakni raksasa Cakil dengan empat companies- nya, yang masing-masing bertubuh hitam, putih, kuning, dan merah, lambang nafsu-nafsu manusia. Pembegal-pembegal jahat ini selalu berhasil dibunuh dalam sebuah cerita, tetapi hidup dan muncul kembali dalam cerita yang lain. Kejahatan itu abadi, tak bisa dilenyapkan. Hanya bisa dikurangi.

Perang Bharatayudha yang sudah dimulai sekarang ini baru awal perang. KPK sekarang ini baru menyiangi pinggir hutan kejahatan. Perang Bharatayudha masih harus diteruskan oleh Jayabaya-Jayabaya berikutnya karena undang-undang sekarang ini tak memungkinkan lagi menjadi presiden seumur hidup. Dua kali masa kepresidenan juga belum cukup. Harus ada empat atau lima presiden berikutnya yang terus memukul genderang perang Bharatayudha.

KPK perlu diperkuat dengan tambahan panglima-panglima perang yang berwatak kuat dan berani mati. Bunga-bunga yang terselip di kepala-kepala musuh masih banyak untuk dijadikan korban.

Anak cucu kita juga yang akan menanggung perbuatan-perbuatan kita yang jahat. Penyair Abdul Hadi WM pernah menulis, kita sedang mencuri buah-buah dari pohon anak cucu kita. Betapa malu kita dibuatnya. Namun, Jayabaya telah memulai perang Bharatayudha.

Jakob Sumardjo Esais

[Kembali]

Tidak ada komentar: