Jumat, 08 Agustus 2008

Mengapa Indonesia Gagal?

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008.

(sri hartati samhadi)

Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia sebenarnya juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi yang hampir sama dengan Korsel, yakni promosi ekspor dan substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya.
Namun, langkah ini tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Penyebabnya jelas, tidak adanya kebijakan industrialisasi yang terintegrasi dengan kebijakan sektor lain, seperti perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, dan teknologi.
Kajian Chuk Kyo-kim dari Korea Institute for International Economic Policy, Shuvojit Banerjee dari UNSFIR, Shafiq Dhanani dari UNIDO/UNDP, serta Thee Kian Wie dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan Korea Selatan (Korsel) justru adalah faktor-faktor di mana Indonesia gagal.
Selain tidak adanya suatu pendekatan kebijakan terintegrasi dalam pembangunan industri, terjadi kegagalan strategi industri yang di bawah kepemimpinan negara (pemerintah pusat).
Ketiga, kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Keempat, kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).
Chuk Kyo-kim dan Thee Kian Wie sendiri membagi kebijakan pembangunan industri Indonesia sebelum krisis 1997 ke dalam tiga fase besar, yakni 1966-1974, 1975-1984, dan 1985-1997. Fase pertama ditandai strategi ekonomi pintu terbuka yang ditujukan untuk menarik investasi asing dan utang dalam rangka membiayai impor dan perbaikan infrastruktur.
Fase kedua adalah fase lonjakan harga minyak (oil-boom). Pada fase ini, pemerintah menerapkan kebijakan industri substitusi impor yang dibiayai dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah menghasilkan sendiri di dalam negeri produk-produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa.
Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank-bank BUMN. Tujuan dari kebijakan ini adalah membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek-proyek besar sumber daya alam itu.
Namun, tekanan fiskal akibat anjloknya harga minyak mentah di pasar dunia tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca-Plaza Accord (kesepakatan untuk melakukan penyesuaian nilai tukar dollar AS-yen dalam rangka mengoreksi defisit neraca perdagangan AS-Jepang) tahun 1985, memaksa pemerintah mengubah kebijakan secara dramatis.
Yakni kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan sekaligus liberalisasi investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor.
Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi, deregulasi sektor perbankan dan keuangan, yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah sebesar 5 persen per tahun untuk menjaga daya saing.
Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riil hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980-1993.
Namun, liberalisasi yang terjadi waktu itu sifatnya masih parsial dan gradual. Beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat, termasuk industri perakitan mobil, semen, baja, rekayasa berat, pabrikasi baja, dan farmasi. Kebijakan industrialisasi pada fase ini sangat dipengaruhi oleh BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) waktu itu.

Lompatan teknologi
Pada masa BJ Habibie sebagai Menristek, pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi. Industri dimaksud adalah industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait.
Argumen Habibie waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, menurut Habibie, yang diperlukan adalah investasi di teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi.
Alhasil, sumber penerimaan negara dalam jumlah besar digelontorkan ke industri-industri yang mendapat proteksi ketat dari pemerintah ini. Industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja menjadi dianaktirikan.
Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada fase ketiga kebijakan industri (1985-1997). Demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri-industri berat.
Namun, proteksi ini dinilai Chuk tak berhasil karena industri-industri yang diproteksi secara ketat itu ternyata tak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional secara keseluruhan.
Ini berbeda dengan di Korea, di mana industri berat mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an tetap industri padat karya yang berorientasi ekspor, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi.
Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya berorientasi ekspor itu sendiri tidak mampu tumbuh optimal.
Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah tingginya kandungan impor, sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas buruh.
Chuk Kyo-kim melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan saling kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan.
Kesan yang ada selama ini, kebijakan di tiap-tiap sektor itu jalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk suksesnya suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung, konsisten, dan koheren. Lebih parah lagi, ia tidak melihat adanya kebijakan industri yang jelas setelah tahun 2004.
Kebijakan pengembangan industri pada era tersebut, menurut Chuk Kyo-kim, sangat didominasi nuansa kebijakan jangka pendek, itu pun gagal mengatasi isu-isu yang sifatnya struktural dari perspektif pembangunan jangka panjang.
Ke depan, kebijakan industrial targeting memang tak dimungkinkan lagi untuk diterapkan pada era WTO. Namun, menurut dia, itu tidak berarti dukungan kebijakan secara tak langsung untuk mendorong daya saing industri dan pembangunan industri nasional untuk kepentingan pembangunan nasional jangka panjang tak bisa lagi dilakukan.
Kuncinya tetap saja adalah pentingnya pendekatan kebijakan yang sifatnya terintegrasi dan koordinasi kebijakan yang lintas sektoral. Akan tetapi, sekali lagi, untuk bisa mewujudkan ini diperlukan suatu kepemimpinan yang kuat, tegas, visioner, dan efektif.

(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Tidak ada komentar: