Jumat, 08 Agustus 2008

Bangsa yang Dibangun di Atas Fondasi Ekspor

Oleh Sri Hartati Samhadi
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008

Keberhasilan pembangunan ekonomi Korsel selama 4,5 dasawarsa lebih sejak merdeka tahun 1945, tak bisa dilepaskan dari kebijakan pengembangan industri yang sifatnya selektif (industrial targeting). Berdasarkan strategi ini, pemerintah menetapkan sejumlah sektor industri sebagai sektor prioritas yang kemudian didukung secara all-out oleh pemerintah, termasuk melalui kebijakan perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan teknologi.
Presiden Park Chung-hee, yang berkuasa lewat kudeta militer terhadap Perdana Menteri Chang Myong pada Mei 1961, boleh dikatakan adalah arsitek utama di balik industrialisasi Korsel. Pertumbuhan ekonomi Korsel yang mencengangkan dimulai sejak diberlakukannya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama pada tahun 1962 oleh pemerintahan ini.
Salah satu hal yang menonjol pada awal proses pembangunan ekonomi dan industrialisasi di Korsel adalah kuatnya peran negara di bawah rezim militer yang otoriter waktu itu. Peran pemerintah yang kuat, menurut Park, diperlukan karena pada saat itu belum ada institusi lain yang bisa diharapkan mampu membawa Korsel keluar dari kemiskinan.
Saat itu Korsel adalah negara termiskin ketiga di Asia, dengan pendapatan per kapita pada tahun 1962 hanya 87 dollar AS per tahun atau di bawah negara-negara miskin Afrika.
Chuk Kyo-kim dari Korea Institute for International Economic Policy/KIEP (”Korea’s Development Policy Experience and Implications for Developing Countries”, 2008) menyebutkan, tidak seperti negara berkembang lain yang umumnya memulai pembangunan ekonominya dari sektor pertanian, Korsel sejak awal mengadopsi strategi kebijakan pembangunan industri, kendati sektor pertanian memainkan posisi dominan dalam perekonomian saat itu.
Alasannya sangat pragmatis, yakni tidak tersedianya lahan yang memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan produksi pertanian dalam skala besar.
Dalam kondisi seperti itu, strategi pengembangan sektor industri dinilai sebagai langkah paling tepat. Kebijakan industri yang ditempuh harus berorientasi keluar (outward-oriented), mengingat pasar dalam negeri yang sempit. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan tidak akan terjadi.
Berdasarkan strategi ini, pemerintah berusaha mendorong industri berorientasi ekspor melalui segala bentuk insentif yang dimungkinkan. Park bahkan membuat slogan nasional Korsel, yakni ”bangsa yang dibangun dengan ekspor”. Ia juga memimpin langsung setiap pertemuan bulanan untuk membahas upaya peningkatan ekspor, yang dihadiri para pejabat tinggi pemerintah dan para pimpinan bisnis.

Keunggulan kompetitif
Berbeda dengan pembangunan industri di negara-negara berkembang lain, menurut Chuk Kyo-kim, pemerintah Korsel di bawah Park dan para penerusnya secara terus-menerus berusaha melakukan adaptasi terhadap kebijakan industrinya, untuk menyesuaikan dengan kondisi eksternal yang ada dan tahap perkembangan keunggulan komparatif yang dimiliki di dalam negeri pada saat itu.
Pada dekade 1960-an, misalnya, pemerintah memilih mendorong industri manufaktur ringan karena pada saat itu keunggulan komparatif yang dimiliki Korsel adalah di industri-industri padat karya.
Pada tahun 1970-an fokus kebijakan industri bergeser ke industri kimia dan industri berat (HCI). Selain untuk menyaingi Jepang, kebijakan mendorong industri berat ini juga ditempuh dalam rangka merespons meningkatnya proteksionisme negara-negara maju untuk melindungi produk-produk industri padat karya mereka.
Saat itu Korsel meyakini industri mereka tertinggal 20-30 tahun di belakang Jepang. Untuk mengejar ketertinggalan dari Jepang, Korsel bahkan nyaris menjiplak utuh kebijakan-kebijakan yang berlaku di Jepang. Beberapa industri yang dipilih oleh Pemerintah Korsel untuk dikembangkan di sini adalah baja, baja nonbesi, pembuatan kapal, elektronik, mesin, dan petrokimia.
Untuk mendukung ambisi ini, pemerintah membuat beberapa langkah penyesuaian kebijakan, dengan penekanan utama pada pengembangan kapasitas teknologi lokal melalui pengembangan lembaga-lembaga riset dan pengembangan (R&D) yang dibiayai oleh pemerintah serta memperkuat pendidikan di bidang rekayasa, terutama rekayasa mekanik, elektrik, dan elektronik.
Kendati sangat mahal dan memunculkan dampak negatif (seperti inflasi, ekses kapasitas, dan konsentrasi penguasaan ekonomi di tangan segelintir konglomerat besar/chaebol), kebijakan ini dianggap sukses dalam meletakkan dasar bagi pembangunan industri yang pesat dan pertumbuhan ekonomi tinggi Korsel selama beberapa dekade setelahnya.
Selanjutnya, fase dekade 1980-an ditandai oleh kebijakan liberalisasi dan kebijakan industrial yang berorientasi pada teknologi. Kebijakan ini ditempuh sebagai respons atau koreksi terhadap problem struktural yang muncul sebagai akibat kebijakan industrialisasi yang ditempuh pada dekade sebelumnya (kebijakan yang mengistimewakan usaha besar) yang dinilai merongrong daya saing internasional industri Korsel.
Respons kebijakan dimaksud adalah dengan cara mengurangi intervensi dan proteksi terhadap usaha-usaha besar dan lebih menyerahkan jalannya perekonomian pada bekerjanya mekanisme pasar, termasuk dalam alokasi sumber daya.
Dukungan besar kembali diberikan pada kegiatan R&D dan inovasi industri, selain juga liberalisasi perdagangan untuk kepentingan akuisisi teknologi dan memfasilitasi masuknya investasi langsung asing (FDI). Kebijakan lainnya adalah mendorong pengembangan usaha kecil dan menangah.
Berikutnya, fase awal 1990-an ditandai oleh percepatan liberalisasi perdagangan, dengan berperan aktifnya Korsel dalam perundingan Putaran Uruguay. Berbagai kebijakan dan aturan terkait perdagangan disesuaikan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dengan basis industri elektronik yang sangat kompetitif yang sudah dimilikinya, pada fase ini Korsel maju selangkah lagi lewat pencanangan program Korsel menuju era masyarakat informasi abad 21 melalui pengembangan industri teknologi informasi (IT).
Langkah ini dimulai dengan menderegulasikan industri jasa telekomunikasi yang struktur pasarnya sebelumnya sangat monopolistik. Dengan cara ini, muncul pemain baru dan tercipta persaingan yang kompetitif di pasar. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan penerapan strategi globalisasi industri IT, dengan mengundang masuknya investasi asing di IT.
Pada era ini Korsel memantapkan diri sebagai kekuatan besar di bidang industri teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dunia. Satu tahapan spektakuler baru lagi dalam kemajuan ekonomi Korsel dalam kurun waktu yang begitu singkat. Tampaknya, Korsel belum akan berhenti sampai di sini.

Pelajaran penting
Beberapa pelajaran penting yang bisa ditarik oleh negara-negara berkembang dari pengalaman pembangunan industri Korsel, menurut Chuk Kyo-kim, adalah pentingnya adaptasi kebijakan untuk menyesuaikan dengan iklim ekonomi yang ada seperti ditempuh Korsel.
Kedua, harmonisasi kebijakan, antara kebijakan industri dan kebijakan perdagangan serta kebijakan pengembangan SDM dan kebijakan pengembangan teknologi. Kebijakan perdagangan dan kebijakan industri, menurut Chuk Kyo-kim, ibarat dua sisi mata uang.
Dalam kasus Korsel, ketika industri HCI memerlukan proteksi pada dekade 1970-an, pemerintah menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif. Sebaliknya, pemerintah memberlakukan kebijakan liberalisasi perdagangan ketika industri memerlukan stimulasi dalam bentuk persaingan pada dekade 1980-an dan 1990-an.
Pelajaran ketiga, penerapan kebijakan proteksi terhadap industri yang masih bayi (infant industry protection) di dalam negeri penting dilakukan, tetapi sifatnya harus temporer. Korsel adalah salah satu dari sedikit negara yang sukses dengan kebijakan infant industry protection.
Banyak negara lain, termasuk Indonesia, juga menerapkan kebijakan seperti ini untuk mengembangkan industri substitusi impor mereka, tetapi gagal karena proteksi berkepanjangan sehingga justru menimbulkan fenomena rent-seeking di kalangan pelaku usaha.
Keempat, pentingnya mendorong pengembangan sektor swasta karena ekonomi pasar tak mungkin berjalan tanpa dukungan sektor swasta yang kuat. Dalam kasus Korsel, pada dekade 1960-an dan 1970-an mereka memang banyak sekali melakukan intervensi dalam alokasi sumber daya, terutama melalui kepemilikan saham di industri baja, pengilangan minyak, pupuk, dan mesin.
Namun, pada dua dekade berikutnya (yakni setelah swasta sudah kuat) pemerintah melepas sebagian besar kepemilikan di industri-industri tersebut. Pemerintah juga mendorong kegiatan R&D melalui subsidi langsung dan insentif pajak untuk menstimulasi pengembangan teknologi industri.
Kelima, pentingnya strategi pembangunan yang outward-looking. Strategi yang diterapkan Korsel mengeksploitasi keunggulan komparatif Korsel di pasar dunia. Ini dilakukan dengan membuat perekonomian tetap terbuka dan menjamin manajemen makroekonomi yang solid.
Tak ada gading yang tak retak. Chuk Kyo-kim mengatakan, Pemerintah Korsel sendiri tak lepas dari kegagalan dalam kebijakan. Beberapa kritik menuding ketergantungan Korea yang sangat besar pada perdagangan sebagai sumber kerentanan perekonomian domestik terhadap kejutan-kejutan yang bersumber dari luar (external shocks), sebagaimana ditunjukkan pada dua krisis minyak pada tahun 1980-an dan krisis finansial pada 1997.
Salah satu kelemahan kebijakan yang disebut Chuk Kyo-kim adalah kebijakan yang sangat berpihak pada usaha besar pada dekade 1960-an hingga 1970-an. Kebijakan ini menuntun pada terjadinya ekspansi berlebihan (over-investment/over-diversification) oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama chaebol dan terjadinya akumulasi utang korporasi secara eksesif.
Dukungan berlebihan pemerintah pada usaha besar juga melahirkan fenomena too big to fail. Perbankan lebih suka menyalurkan kredit kepada konglomerat karena meyakini pemerintah pasti tak akan membiarkan para konglomerat ini bangkrut (Sebab, kalau tidak akan memunculkan risiko sistemik yang bisa menyeret seluruh perekonomian).
Hal ini memunculkan moral hazard di kalangan perbankan dan juga para konglomerat itu sendiri, tercermin dari penyaluran kredit yang gegabah, kemudian macet, dan menjadi salah satu pemicu berimbasnya krisis finansial pada 1997 ke Korsel.

Tidak ada komentar: