Senin, 08 September 2008

Kebudayaan dan Kebangsaan

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 8 September 2008
Oleh
Ignas Kleden

Ketika kesadaran kebangsaan dicetuskan di Indonesia pada awal abad ke-20, wacana politik berlangsung di atas atau di luar kebudayaan. Dengan istilah sekarang, nasionalisme yang digerakkan oleh para pemimpin pada waktu itu menghindari setiap kemungkinan identity politics (politik identitas). Seluruh rakyat dikerahkan untuk bersatu padu dan seakan harus ”melupakan” buat sementara waktu asal-usulnya, suku bangsanya, dan kelompok budayanya.

Berlainan dengan nasionalisme di Barat yang berkembang dari kesadaran kebudayaan (berdasarkan Blut und Boden, darah dan tanah), nasionalisme Indonesia yang datang bagaikan puting beliung dari negeri-negeri yang jauh, diharap menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan oleh penjajah asing. Nasionalisme Indonesia datang dengan watak suprakultural.

Mohammad Yamin dan Roestam Effendi bolehlah dianggap sebagai penyair modern awal dalam sastra Indonesia Baru yang paling nasionalis. Keduanya berusaha menyanyikan Tanah Air dan kemerdekaan dalam sajak-sajak mereka, sudah pada awal tahun 1930-an, tetapi dengan menumpang metafora-metafora yang serba halus dan romantis, yang tak akan segera mengingatkan pembaca pada hasrat kemerdekaan.

Yamin merindukan tanah airnya, tetapi itu seakan rindu seorang muda remaja untuk pulang kampung ke Sumatera dan Bukit Barisan meskipun pada akhir sebuah sajak keluar juga pemberontakan itu: ”Aduhai diriku sepantun burung/Mata lepas badan terkurung” (sajak ”Sungguhkah?”). Roestam Effendi melukiskan hasrat kemerdekaan dalam perjuangan cinta antara Bujangga dan gadis idamannya, Bebasari, yang berkata kepada kekasihnya: ”Akh untungku putung/Bilakan lepas dari dikurung”. Bujangga dan Bebasari tentulah variasi yang dibuat dari kata bujang dan bebas.

Memang ada berbagai gerakan pemuda yang terhimpun dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, atau Jong Ambon, tetapi jelas itu bukanlah perhimpunan etnis untuk gerakan kebudayaan, melainkan komponen dari suatu gerakan besar nasionalis di kalangan pemuda di seantero negeri. Di kalangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, tetapi itu bukanlah pendidikan berasaskan kebudayaan Jawa, melainkan berdasarkan kepercayaan diri seorang nasionalis, yang enggan bahwa pendidikan dijadikan alat kolonial. Di Sumatera, MS Latif mendirikan INS Kayutanam sebagai alternatif terhadap pendidikan kolonial, tetapi asasnya bukanlah kebudayaan Melayu, tetapi kemandirian orang merdeka.

Di kalangan pemikir kebudayaan, S Takdir Alisjahbana mengumumkan penolakannya secara kategoris terhadap semua kebudayaan tradisional sebagai dasar masyarakat baru yang akan merdeka. Kembali ke kebudayaan tradisional adalah identik dengan kembali ke masa pra-Indonesia, yang akan membawa pertentangan etnis yang tak habis-habisnya di antara berbagai kelompok budaya.

Usulnya untuk mengambil kebudayaan Barat sebagai model kebudayaan baru di Indonesia mendapat banyak pertentangan, tetapi sangat dapat dipahami sebagai bagian dari gerakan nasionalis yang bersifat suprakultural. Tidak ada kebudayaan di Indonesia yang melahirkan nasionalisme dan karena itu tidak ada kebudayaan di Indonesia yang dapat menjadi dasar masyarakat baru dalam alam kemerdekaan.

Dalam sejarah politik Indonesia, kebudayaan barulah menjadi referensi kebangsaan pada saat penguasa menghadapi kesulitan karena politik yang mereka jalankan mulai bertentangan dengan kebangsaan dan kemerdekaan. Ketika Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin, dia mulai berbicara tentang kebudayaan sebagai kepribadian bangsa. Ketika Soeharto menghapuskan oposisi politik, dia juga rajin berbicara tentang nilai-nilai harmoni dalam kebudayaan.

Sekarang ini otonomi daerah telah membuat setiap provinsi dan kabupaten giat mencari ekspresi dan simbol-simbol kebudayaan lokal sebagai ikon bagi otonomi politiknya. Pejabat dan politisi di tingkat nasional masih juga mengulang dalil bahwa politik nasional haruslah berdasarkan nilai-nilai budaya Indonesia, sementara korupsi berkembang biak dan berjalan mulus tanpa dipersoalkan apakah itu bagian kebudayaan Indonesia atau bukan.

Akan tetapi, dengarlah kesaksian mereka yang benar-benar bekerja membangun kebudayaan: para pendidik, wartawan, ilmuwan, seniman, dan penyair Indonesia. Penyair Taufiq Ismail dalam ”Tirani dan Benteng” mengatakan: ”Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada tapi dalam/kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di/tumpukan jerami selepas menuai padi” (sajak ”Malu (aku) jadi orang Indonesia”).

Kita jangan berpura-pura terhadap sejarah. Kebudayaan tak pernah melahirkan kebangsaan di bumi Nusantara. Kebangsaan adalah ibu yang harus melahirkan anak-anaknya: kebudayaan baru dalam alam kemerdekaan dan memberi mereka tugas sejarah untuk mewujudkan kemerdekaan bagi semua anggota bangsa. Mengutip Abraham Lincoln dalam sebuah pidatonya tahun 1862: ”Fellow citizens, we cannot escape history. No personal significance or insignificance can spare one or another of us.... We shall nobly save, or meanly lose, the last, best hope of earth” (Sesama warga negaraku, kita tak dapat menghindari sejarah. Penting-tidaknya diri kita tak dapat menyelamatkan siapa pun dari antara kita. Kita akan menyelamatkan secara bermartabat, atau kehilangan secara hina, harapan terakhir dan terbaik yang ada di bumi).

Dalam kata-kata Chairil Anwar, kewajiban warga negara dan para pemimpin adalah: ”sekali berarti/sudah itu mati” (sajak ”Diponegoro”).

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan

Ekspedisi
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Bekas galangan kapal peninggalan zaman Jepang di kawasan Dasun, Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8), yang produksinya dikirim ke Batavia. Saat ini galangan kapal sepanjang sekitar 50 meter ini hampir tak berbekas.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Ahmad Arif

Perjalanan ini melelahkan, berkelit di antara truk dan bus, dibuai elok tanah Priangan dan angin laut di pesisir pantai utara Jawa. Hanya untuk menemui kisah tentang rakyat yang kalah.

Tanggal 1 Januari 1808. Kapal Virginia merapat di Anyer. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sejak hari itu, Jawa tidaklah sama.

Perubahan dimulai dari sebuah jalan: Anyer-Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer.

Lebih dari sekadar jalan untuk mengantisipasi serangan Inggris dari utara Jawa, menurut Werner Rutz (Cities and Towns in Indonesia, Berlin, 1987), jalan ini telah menumbuhkan kota-kota baru, misalnya Pacet, Plered, Weleri, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan.

Pengajar tata kota Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebutkan, kota-kota baru itu semula adalah pasar kecil yang diuntungkan dari lokasinya di persilangan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Kota-kota tumbuh memanjang mengikuti jalan.

Kini, hampir separuh penduduk Jawa berdiam di kota-kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, itu juga menjadi pipa pengisap kekayaan tanah Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke pasar dunia.

Pengisapan kekayaan itu mencapai puncaknya ketika Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di tahun 1830. Pada era inilah, Jalan Raya Pos menemukan fungsi besarnya: menyedot kekayaan Jawa.

Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.

Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa sebagai kaki tangan Belanda.

Enam puluh tahun setelah kedatangan Daendels, seorang asisten residen Belanda di Banten, Douwes Dekker, menuliskan penderitaan rakyat akibat ekonomi pengisapan itu.

Tuan dan kuli

Dari tanah Multatuli—nama samaran Douwes Dekker—perjalanan ini bermula. Tahun 1860, Douwes Dekker menulis Max Havelaar, kitab tentang derita rakyat yang diisap penguasa. Fragmen Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kembali nyata saat mendengarkan kisah petani-petani Banten tentang jawara dan tentara yang memaksa mereka melepas tanah dengan harga murah untuk dijadikan areal industri sejak era 1970-an.

Di Serang dan Tangerang, perjumpaan dengan para buruh pabrik makin mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan warisan kolonial. Ratno, buruh di Serang, mengisahkan, mereka harus membayar kepada para jawara hingga Rp 3 juta untuk kontrak kerja di pabrik selama setahun. Jawara adalah wajah Banten paling purba yang masih nyata hingga saat ini, yang menjadi penghubung antara dua kutub: kuli dan majikan.

Melewati Puncak Pas, mata sempat disegarkan oleh rimbun pepohonan yang masih tersisa dari gambaran tentang keindahan Tanah Priangan. Namun, di balik elok alam dan mojang Priangan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. Sebagian besar lahan pertanian di sini telah dimiliki tuan tanah dari kota, terutama dari Jakarta.

Turun dari Cadas Pangeran, tempat ribuan korban pekerja tewas dalam pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan memasuki pantai utara. Cirebon adalah gerbangnya.

TD Sujana, sejarawan Cirebon, menyebutkan, kota ini dibangun dari tebu dan air gula. Pada masanya tebu-tebu dari Cirebon merajai pasar Eropa. Legit air tebu yang diperas dari air mata petani. Menemui petani-petani tebu di Cirebon saat ini serasa disedot ke masa dua abad lalu pada kondisi yang digambarkan Jan Breeman (Control of Land and Labour in Colonial Java, Foris Publication, Holand, 1983).

Jan menulis, di Cirebon Timur pada akhir abad ke-18, tebu merupakan hasil pribumi yang wajib disetorkan kepada VOC.

Semarang, kota yang pernah menjadi bandar besar itu, meredup, menyisakan kota lama yang sekarat oleh hantaman rob dan penurunan muka tanah.

Pati-Rembang-Lasem menjadi kota pesisir yang miskin. Hampir tak ada yang tersisa dari masa lalu, selain ladang garam dengan buruh-buruh yang merana.

Hanya di Juwana, Pati, harapan sedikit muncul, yaitu ketika melihat nelayan Desa Bendar yang tinggal di rumah- rumah gedongan.

Di Tuban dan Gresik, harapan juga berseri ketika melihat pabrik-pabrik menjulang. Namun, kemiskinan ternyata tetap tak terusir.

Titik akhir

Di Porong, Sidoarjo, segala haru-biru pun tumpah: saat melihat rakyat Siring Barat, yang hidup berdampingan dengan maut. Mereka tinggal di tanah yang bergolak, dibekap gas beracun, dihantui bunyi tembok retak dalam tidur. Mereka kehilangan rumah, tanah, masjid, kuburan, bahkan masa depan. Hingga dua tahun sejak lumpur menyembur, tak ada kepastian untuk pindah ke tempat lain.

Di Porong, sejarah 200 tahun Jalan Raya Pos, tamat riwayatnya. Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk membangun jalan baru, menggantikan Jalan Raya Pos, untuk melanjutkan jalan itu hingga ke Panarukan.

Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya.

Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi.

[ Kembali ]

Rakyat Masih Menunggu Pemimpin yang Visioner

Kepemimpinan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jakarta, Kompas - Pemimpin yang punya intelektualitas dan jujur terhadap kepentingan rakyat akan menentukan kemandirian bangsa. Sayangnya, pemimpin yang ada saat ini belum menunjukkan kepemimpinan yang kuat, visioner, dan punya keberanian. Tidak heran sampai saat ini rakyat masih menantikan pemimpin yang bisa dibanggakan.

Menurut dosen ilmu politik Universitas Paramadina, Bima Arya Sugiarto, dalam diskusi kepemimpinan dan momentum perubahan di Universitas Paramadina di Jakarta, Kamis (4/9), kejelasan sikap terhadap sebuah isu publik merupakan salah satu sikap pemimpin yang dibutuhkan saat ini.

Kalangan intelektual yang jujur tampaknya masih menjadi harapan rakyat ketimbang pemimpin yang senang menampilkan teatrikal politik. ”Rakyat sebenarnya sudah bosan dengan teatrikal yang tidak peduli dengan substansi yang dibutuhkan rakyat,” ujar Bima.

Pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini, lanjutnya, harus mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan kemampuan organisasi yang kuat.

”Selain itu, memang tetap dibutuhkan kemampuan politik dan visi kebangsaan yang jelas,” kata Bima.

Politik dunia

Dalam tataran internasional, Indonesia perlu meningkatkan posisi tawarnya. Untuk itu, menurut Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dibutuhkan langkah yang berani dan mengejutkan dari seorang pemimpin.

”Apalagi, dalam konstelasi politik dunia, konspirasi antara kekuasaan dan kekuatan modal itu bukan sekadar bayang-bayang, tetapi merupakan kekuatan nyata yang harus dihadapi,” ujarnya.

Kenyataan saat ini, menurut Anies, bangsa Indonesia tidak cukup punya kemampuan untuk menerjemahkan keinginannya sehingga tidak mempunyai posisi tawar yang tinggi. Keinginan itu sering terhenti pada kekecewaan dan sikap menyalahkan konspirasi internasional.

”Padahal, bangsa ini perlu mengukuhkan keberanian untuk maju. Indonesia harus punya agenda yang jelas dan cara untuk memperjuangkannya di dunia internasional. Kalau ini berhasil, bukan tidak mungkin keberhasilan itu akan memperbaiki konstelasi Indonesia di dunia internasional,” ujarnya.

Dalam diskusi yang sama, Solahudin Wahid mengingatkan, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa transparan dan jujur terhadap rakyatnya.

”Kejujuran itu bisa dilihat sejak kampanye, dengan mengumumkan berapa besar dana kampanye yang dihabiskan. Jika mereka tak bisa jujur, bagaimana mungkin mereka bisa jujur ketika menjadi pemimpin,” ujarnya.

Solahudin menyayangkan, praktik demokrasi seharusnya memberikan kedaulatan rakyat yang besar, tetapi kedaulatan itu hanya diberikan pada saat rakyat menentukan pilihan dalam bilik suara.

”Selebihnya, rakyat harus menerima nasib untuk diambil kedaulatannya dan terpaksa mengikuti pemimpin yang lebih senang menyengsarakan hidup rakyat,” ujarnya. (MAM)

[ Kembali ]


Tradisi Besar yang Dilupakan

Bangsa Bahari
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.

Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.

Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.

”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.

Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.

Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang fenomenal, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi sepertiga bola dunia. Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.

Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.

Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.

I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di ”jalur sutra” melalui laut— meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.

Masyarakat bahari

Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.

Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.

Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.

Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.

Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan.

Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa.... (KEN)

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Industri dan Jasa Gagal Menopang Pertanian

Perangkap Pangan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Jakarta, Kompas - Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih menyatakan, bangsa Indonesia harus merumuskan kembali strategi pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi ke depan harus berbasis pertanian dan pangan.

”Masih banyak peluang yang bisa dilakukan kalau kita mau maju. Selama ini konsep pembangunan ekonomi, khususnya sektor jasa dan industri, salah arah dan gagal menopang sektor pertanian untuk meningkatkan nilai tambah,” kata Bungaran, Rabu (3/9) di Bogor, Jawa Barat.

Selama ini semua solusi mengenai lapangan kerja dibebankan kepada pertanian. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa juga menjadi tanggung jawab sektor pertanian. Akibatnya, ruang gerak pertanian menjadi amat terbatas sebagai dampak dari beban yang begitu berat. Padahal, sektor pertanian baru akan tumbuh dengan baik dan cepat kalau ada dukungan yang memadai dari sektor industri dan jasa.

Menjauh dari pertanian

Namun, arah kebijakan pembangunan sektor industri dan jasa justru bukan untuk menopang sektor pertanian. Industri perbankan, misalnya, malah menjauh dari pertanian. Kredit pertanian sulit diakses oleh petani.

Sektor industri pengolahan juga tidak mampu menumbuhkan pabrik-pabrik besar yang bisa bersaing dengan perusahaan multinasional, yang bahan bakunya ditopang produk domestik. Namun, sebaliknya produk pangan negara maju dan negara tetangga menyerbu pasar Indonesia.

”Sektor pertanian tak seburuk yang dibayangkan,” kata Bungaran.

Data Departemen Pertanian menunjukkan, produksi komoditas pertanian utama, seperti padi, jagung, karet, kelapa sawit, dan jambu mete, terus meningkat sebesar 4,85 persen-14,45 persen.

Ekspor komoditas pertanian, khususnya perkebunan, seperti produk kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi, juga terus naik. Neraca ekspor-impor subsektor perkebunan tahun 2006, misalnya, naik menjadi 12,29 miliar dollar AS dibandingkan tahun 2003 yang hanya 7,78 miliar dollar AS. Tahun 2007 dan 2008 nilai ekspor subsektor perkebunan meningkat tajam karena kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO), karet, kakao, dan kopi di pasar dunia.

Guru besar sosial ekonomi dan industri pertanian Universitas Gadjah Mada, M Maksum, mengungkapkan, sudah saatnya pemerintah melakukan perombakan pembangunan ekonomi nasional dari yang sebelumnya mengorbankan sektor pertanian menjadi propertanian.

Dalam wawancara sebelumnya, Maksum mengungkapkan, industri hilir pertanian, seperti industri pengolahan produk pertanian, tidak tumbuh untuk meningkatkan daya saing pertanian. Ekspor komoditas pertanian hanya pada komoditas mentah, seperti karet, biji kopi, biji kakao, dan CPO.

Tidak ada langkah strategis dari pemerintah untuk menumbuhkan industri pengolahan produk pertanian yang bisa memberikan nilai tambah. Padahal, tumbuhnya industri pengolahan berbasis bahan baku domestik akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa.

”Pemerintah selalu terjebak dalam nafsu kebijakan jangka pendek yang kerap membuat harga pangan dan produk pertanian menjadi murah. Kebijakan fiskal dan moneter pun tidak prosektor pertanian,” katanya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri MS Hidayat mengatakan, sejak Kadin Indonesia menyusun roadmap industri, orientasi strategi industri Indonesia memang didorong untuk segera diubah secara besar-besaran. Artinya, Indonesia tidak bisa lagi hanya berbangga pada besarnya nilai ekspor, melainkan perlu menggenjot perolehan nilai tambah setiap produk ekspornya.

Kebijakan strategis

”Untuk membangun processing plan sangat dibutuhkan modal. Di Malaysia, perencanaan pembangunan industri sangat didukung pemerintah melalui kebijakan strategis maupun permodalan,” kata Hidayat.

Menurut dia, perencanaan proses industri yang menghasilkan nilai tambah secara konkret perlu dilakukan, pertama-tama, dengan menyeleksi pemain-pemain di bidang industri. Pemain ini mesti mempunyai kemampuan dalam membangun industri manufaktur yang mengolah hasil pertanian, seperti kopi, kakao, dan karet.

Soal permodalannya, Hidayat mengatakan, pembangunan industri manufaktur membutuhkan dukungan konsorsium perbankan nasional. Atau, bisa juga dana itu disepakati pemerintah untuk kebutuhan jangka panjang ekspor produk Indonesia.

Dia menyayangkan, selama ini nilai tambah produk Indonesia dinikmati negara lain, sedangkan Indonesia hanya sebatas meningkatkan nilai ekspor produk mentah.

Pemain global

Bungaran menambahkan, untuk komoditas perkebunan, Indonesia sudah menjadi pemain utama di pasar global.

Saat ini Indonesia menjadi produsen utama minyak sawit dunia. Pasar minyak kedelai, jagung, dan biji bunga matahari semua dikalahkan oleh minyak sawit. Produksi CPO tahun 2007 bahkan mencapai 17,8 juta ton. Luas lahan sawit juga meningkat. Tahun 2000 seluas 2 juta hektar, 2004 sebesar 4 juta ha, dan sekarang mencapai 6 juta ha.

Produksi karet alam Indonesia nomor dua terbesar di dunia, begitu juga dengan kakao menjadi nomor tiga terbesar. Rempah-rempah Indonesia juga pemain utama, begitu pula dengan kopi robusta dan minyak asiri.

Ekonom BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan, sampai saat ini perbankan masih menganggap pertanian sebagai sektor berisiko tinggi untuk dibiayai. Salah satunya karena harga yang tak stabil.

Pernah muncul wacana agar pemerintah mendirikan bank khusus pertanian sehingga pembiayaannya menjadi lebih fokus. Gubernur BI Boediono menyambut baik jika pemerintah mendirikan bank khusus pertanian. (MAS/OSA/FAJ)

[ Kembali ]