Jumat, 29 Agustus 2008

Konvensi Partai Demokrat
Pidato-pidato Pembangkit Harapan
AP Photo/The Rocky Mountain News, Judy Dehaas / Kompas Images
Calon presiden dari Partai Demokrat, Senator Barack Obama, naik ke podium bersama calon wakil presiden, Senator Joe Biden, dalam Konvensi Partai Demokrat di Denver, Amerika Serikat, Rabu malam atau Kamis (28/8) WIB.


Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Budiarto Shambazy

Tiap wartawan akan bingung memilih topik yang layak jadi berita utama Konvensi Demokrat di Denver, Rabu (27/8) malam. Sebab, pidato mantan Presiden Bill Clinton, John Kerry, calon wakil presiden Joe Biden, dan calon presiden Barack Obama berkelas breaking news yang eksklusif. Bahwa pidato itu disiarkan langsung CNN tanpa dipotong, itu menunjukkan konvensi ini lebih penting ketimbang final ”American Idol” atau anugerah Oscar.

Sedikitnya dua peserta konvensi berurai air mata saat diwawancarai seusai konvensi karena memiliki secercah harapan tentang masa depan bangsa Amerika Serikat yang dihancurkan Presiden George W Bush. Itu belum termasuk minimal lima wajah yang sesenggukan karena bangga punya para pemimpin yang menempatkan rakyat di atas segala-galanya.

Bill Clinton bolak-balik memohon audiens stop tepuk tangan dan duduk. Hampir 5 menit mereka memberikan standing ovation untuk Clinton yang mencetak rekor ekspansi ekonomi terbesar yang memakmurkan rakyat dalam sejarah kepresidenan.

Clinton bukan hanya menegaskan dukungan untuk Obama, tetapi juga memberikan jaminan, istrinya, Hillary, punya 18 juta suara yang siap dialihkan untuk duet ”Obiden”. Dengan nada setengah mengancam, Clinton meminta warga Demokrat kompak menghadapi John McCain.

Kerry, pahlawan perang yang dikalahkan Bush di Pilpres 2004, menguak sikap McCain—sahabatnya selama 22 tahun—yang mendua. Itu sebabnya, Kerry batal memilih McCain sebagai cawapresnya tahun 2004, dan menjatuhkan pilihan pada John Edwards.

Biden jadi bintang karena menyampaikan acceptance speech sebagai cawapres. Ia berpolitik sejak usia 29 tahun dan berpengalaman politik internasional. Lebih dari itu, Biden yang doyan bicara berfungsi jadi attack dog jika Obama, politisi yang terlalu bertata krama, diserang kubu Republik.

Pidato politik, apalagi yang disampaikan saat konvensi, bukan wacana. Clinton, Kerry, Biden, dan Obama memang memanfaatkan TelePrompTer untuk membaca teks. Tetapi, mereka bukan ”pidatowan” yang cuma bermodal tampang, dandanan, atau kursus John Robert Power.

Tiap anak di AS sejak TK dibiasakan berdebat. Politisi terlatih mengabdi sejak dini. Biden menyebut bagaimana Obama mengorbankan masa muda jadi community organizer demi politik, bukan cari uang di Wall Street agar cepat kaya.

Tim kampanye Obama mengungkapkan ia tak pernah berlatih pidato secara khusus. Ketika memulai karier sebagai senator di Illinois, ia tak bicara banyak. Ia dinilai agak kaku kalau berbicara saat jumpa pers atau ikut debat publik. Ia merasa lebih nyaman berkomunikasi secara personal dengan setiap orang satu per satu.

Itu sebabnya, ia mencintai pekerjaan community organizer di Chicago Selatan. Ia rajin menyambangi anak miskin, mengurusi selokan mampat, mendemo wali kota, mengurus buruh yang pabriknya ditutup, atau mendidik remaja agar suka politik.

Obama tahu momen yang menentukan akan tiba: jadi keynote speaker pada konvensi partai tahun 2004. Bayangkan, empat tahun sebelumnya pada acara yang sama ia bahkan dilarang masuk gara-gara kartu identitas!

Di konvensi 27 Juli 2004 itulah Obama membacakan pidato ”The Audacity of Hope”. Tanpa latihan, Obama memukau audiens cuma karena satu hal: pengalaman politik.

Pidato Clinton, Kerry, dan Obama membuat kubu Republik panik. Mereka mencuri perhatian dengan ”membocorkan” berita McCain telah menentukan cawapres meski belum tahu siapa. Semoga kepanikan Republik jadi pertanda bagi kemenangan mutlak Obiden, yang akan kembali memanusiawikan wajah AS.

Kamis malam atau Jumat WIB, Obama menyampaikan acceptance speech di stadion berkapasitas 75.000 penonton. Terakhir kali konvensi pindah karena minat penonton kelewat besar terjadi saat John F Kennedy menyampaikan pidato konvensi pada awal 1960-an.

Kebetulan 28 Agustus 1963 Martin Luther King menyampaikan pidato ”I Have a Dream” yang jadi tonggak perjuangan persamaan hak. Pasti breaking news lagi dan makin banyak yang menangis terharu karena Obama telah membangkitkan harapan. (CNN/AP)

[ Kembali ]

Selasa, 26 Agustus 2008

Pemerintah Daerah Harus Inovatif

Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Selasa, 26 Agt 2008
by : Yeffri Yundiarto Prahadi
Pemerintah daerah disarankan segera mengubah pola pikir sesuai dengan semangat otonomi daerah. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pemerintah daerah harus memanfaatkan kebijakan desentralisasi fiskal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pengurangan kemiskinan dan pengangguran.

“Pemerintah daerah bertanggung jawab penuh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Kebijakan ekonomi daerah yang inovatif akan mengurangi kesenjangan antara wilayah barat dan timur Indonesia,” kata dia dalam Seminar Perumusan Kembali Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah di Jakarta, Senin (25/8).

Menurut dia, ada tiga tolok ukur kinerja pemerintah daerah, yaitu keberhasilan menekan angka kemiskinan, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kesenjangan dengan daerah yang telah maju.

Dia menjelaskan, pembangunan ekonomi di daerah menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional karena sekitar 65 persen dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berputar di daerah. Belanja pusat yang murni hanya 35 persen sehingga kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlampau besar.

Dana yang berputar di daerah adalah dana perimbangan keuangan, seperti dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil. Selain itu, ada dana dekonsentrasi, subsidi, serta program pengentasan kemiskinan.

Wakil Ketua IV Departemen Kebijakan Publik dan Perpajakan Kamar Dagang dan Industri Indonesia P Agung Pambudhi mengatakan, desentralisasi belum banyak mendukung tumbuh-kembang dunia usaha di daerah. Akibatnya, pembukaan lapangan kerja belum mampu menampung angkatan kerja baru yang muncul.

Menurut dia, keterbatasan infrastruktur di daerah menjadi kendala utama kelangsungan usaha, selain ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, sumber daya alam, dan implementasi kebijakan daerah. Pemerintah daerah perlu lebih keras membangun komunitas berusaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.

“Tanpa perbaikan akses ekonomi yang luas, pelayanan publik yang baik, dan tata kelola pemerintah daerah yang baik, desentralisasi tidak akan bermanfaat banyak untuk pembangunan,” kata dia.

Gubernur Sulawesi Utara S Sarundajang mengatakan, pemerintah daerah harus menumbuhkembangkan semangat kewirausahaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Potensi ekonomi yang unik di setiap daerah harus menjadi titik awal pembangunan daerah yang berkualitas.

Menurut dia, pemerintah daerah harus berani mengembangkan sektor ekonomi unggulan daerah agar memiliki daya saing di pasar regional. Contohnya, kebijakan pembangunan sektor pertanian yang menjamin sinergi antara wilayah produksi, distribusi, dan pemasaran.

[ Kembali ]

Belajarlah dari Negeri China

Diunduh dari Rubrik OPINI di Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Selasa, 26 Agt 2008
Para ustadz atau dai sering mengutip hadits yang berbunyi, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke Negeri China.” Terlepas dari sanad hadits ini yang lemah, China memang memiliki kelebihan yang bisa kita jadikan pelajaran. Prestasi yang baru saja diukir Negeri Panda itu adalah kesuksesannya dalam pelaksanaan Olimpiade 2008 di Beijing.

Dalam Olimpiade Beijing yang telah ditutup Minggu (24/8) lalu, China meraih dua keberhasilan sekaligus, yakni dalam penyelenggaraan dan pertandingan olahraga. Olimpiade Beijing dibuka dan ditutup dengan upacara yang spektakuler dengan mengerahkan ratusan penari, pesta kembang api, dan atraksi lain yang memukau.

Selama penyelenggaraan Olimpiade, China memberikan layanan kelas satu kepada para atlet, ofisial, maupun tamu-tamu lain. Fasilitas pertandingan, transportasi, dan akomodasi dipersiapkan dengan baik. Persiapkan serius selama tujuh tahun pun tidak sia-sia dengan kesuksesan yang didapat.

Keberhasilan itu menutupi kekhawatiran sebelumnya terkait dengan tingginya polusi udara, ancaman demonstrasi, dan pembatasan kebebasan pers. Presiden Komite Olimpiade Internasional Jacques Rogge dan sejumlah tamu yang menghadiri upacara penutupan menyatakan Olimpiade Beijing “benar-benar luar biasa”.

China tidak hanya sukses sebagai tuan rumah, tapi juga berhasil menjadi juara umum dengan meraup 51 emas, 21 perak, dan 28 perunggu. Negara adidaya Amerika Serikat, yang biasanya juara umum, harus rela menempati urutan kedua dengan 36 emas, 38 perak, dan 36 perunggu. Posisi ketiga dipegang Rusia dengan memperoleh 23 emas, 21 perak, dan 28 perunggu. Inggris yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade 2012 menempati peringkat keempat dengan 19 emas, 13 perak, dan 15 perunggu.

Tentu Olimpiade bukan melulu persoalan olahraga, tapi juga memiliki dimensi ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dalam hal ini pun Negeri Tirai Bambu juga mendapat keuntungan besar. Ribuan orang dari berbagai penjuru dunia yang datang ke Beijing tentu membuat perputaran uang triliunan rupiah dan menghidupkan perdagangan di China. Untuk memersiapkan segala keperluan Olimpiade, Beijing pun rela mengeluarkan dana US$43 miliar (Rp387 triliun).

Olimpiade Beijing membuat China semakin terbuka, baik secara politik, maupun sosial budaya. “Lewat Olimpiade, dunia belajar lebih banyak tentang China, dan China belajar lebih banyak tentang dunia,” kata Rogge.

Proses saling belajar antara China dan dunia itu tentu akan meningkatkan saling pengertian, kepercayaan, dan kerja sama yang bermanfaat. Ketua Panitia Olimpiade Beijing Liu Qi mengatakan bahwa pesta olahraga terbesar di dunia itu menjadi bukti bahwa dunia telah memercayai China. Kenyataannya, Beijing bisa melaksanakan kepercayaan itu dengan baik.

Olimpiade pun menunjukkan adanya transformasi politik dan sosial yang telah dilaksanakan oleh China, dari sebuah negara komunis yang tertutup menjadi begitu terbuka. Kenyataan ini menjawab kritik-kritik yang selam ini dialamatkan kepada China terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, pengekangan kebebasan pers, pencemaran lingkungan dan sebagainya.

Keberhasilan Olimpiade membuktikan bahwa China bisa memberdayakan birokrasi pemerintahan maupun rakyatnya dengan efektif.

Selain sukses Olimpiade, China sudah mencatat keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Industri dan perdagangan China berkembang, sehingga produk China pun membanjiri pasar-pasar dunia, dari Amerika Serikat hingga Indonesia. Dengan tingkat pertumbuhan tinggi, pada 2007 pertumbuhan ekonomi 11,9 persen, China telah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.

[ Kembali ]

Sabtu, 23 Agustus 2008

Olimpiade Beijing dan "Soft Power" China

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008

Evi Fitriani

Tanggal 8 Agustus lalu kita menyaksikan upacara megah pembukaan Olimpiade Beijing 2008 dihadiri ribuan atlet dan sekitar 80 pemimpin dunia serta disaksikan ratusan juta penonton di 220 negara dan teritori. Pertunjukan spektakuler menonjolkan kekayaan budaya sepanjang 5.000 tahun dengan teknologi mutakhir memperlihatkan China bukan negara proletar lagi.

Sebagai tuan rumah olimpiade, China tidak hanya mempersiapkan atlet-atlet terbaiknya, tetapi juga memodernkan teknologinya serta membenahi sektor budaya dan lingkungan hidup. Melalui Olimpiade Beijing ini, China ingin memperkuat dan menunjukkan soft power-nya kepada dunia.

Soft power adalah kemampuan untuk membuat pihak lain menjalankan apa yang kita inginkan tanpa kita harus menggunakan kekerasan atau membayar melainkan melalui daya tarik (Nye, 2008). Berbeda dengan hard power, seperti kekuatan militer, dalam soft power pihak lain melakukan apa yang kita inginkan karena keinginan dari dirinya sendiri berkat kemampuan nonkekerasan yang kita miliki.

Dalam hubungan internasional, kekuatan jenis ini sudah lama dipraktikkan, tetapi baru menjadi sorotan sejak Joseph Nye Jr meluncurkan bukunya, Soft Power, tahun 2004. Soft power suatu negara berasal dari kekayaan budaya, nilai-nilai dan kebijakannya. Negara yang sudah kuat dalam ekonomi dan militer umumnya mengejar soft power, kecuali AS di bawah Presiden Bush yang masih saja mengandalkan hard power.

Motivasi utama

Mengapa negara berlomba menjadi penyelenggara olimpiade sampai Komite Olimpiade Internasional (IOC) harus mentenderkan pemenangnya? Olimpiade memang bisnis yang menguntungkan, tetapi soft power menjadi motivasi utama. Olimpiade adalah peristiwa besar dunia yang membawa prestise bagi tuan rumah.

Transformasi ekonomi China sejak tahun 1979 telah menjadikan China sebagai kekuatan ekonomi baru dengan pertumbuhan ekonomi menakjubkan dalam dua dekade terakhir. Selanjutnya China memodernisasikan kekuatan militernya dan membangun blue navy. Setelah diakui sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan militer dunia, kini saatnya China memperlihatkan kekayaan budaya dan kehebatan sumber daya manusianya. Para pemimpinnya juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa China mampu mengatasi dampak negatif pembangunan ekonomi dan militernya dengan menjadi penyelenggara olimpiade yang ramah lingkungan dan menghormati hak asasi manusia yang menjadi pedoman dalam Olympiade Charter.

Untuk memenuhi persyaratan olimpiade—dan untuk menjawab kritik dunia atas kehancuran lingkungan—China menghabiskan sekitar 13 miliar yuan untuk pembangunan infrastruktur olimpiade yang ramah lingkungan. Otoritas China juga merelokasi industri, membatasi kendaraan bermotor, meremajakan bus umum, dan menutup pabrik-pabrik tertentu selama olimpiade berlangsung guna mengatasi polusi udara di Beijing.

Kehadiran begitu banyak pemimpin politik juga memberi kesan China mampu menangani kompleksitas berbagai dimensi hubungan—politik, ekonomi, budaya, dan olahraga—sekaligus dengan baik. Bagi para pemimpin negara dan pemerintahan, kehadiran mereka di arena olimpiade bukan hanya untuk memberi dukungan kepada para atletnya, tetapi ada efek diplomasi yang ingin di timbulkan. Pertama memperlihatkan kepada dunia hubungan baiknya dengan China; hubungan politik negara tersebut dengan Beijing tidak terganggu protes terhadap praktik HAM di China, termasuk pendudukan China di Tibet. Kedua, memperlihatkan kepada China bahwa negara tersebut mendukung China sebagai tuan rumah olimpiade walau ada ancaman keamanan dari kelompok teroris. Dua efek ini memang diharapkan China sebagai bukti soft power-nya.

Kekayaan budaya

Selain pesta olahraga, Olimpiade Beijing juga sebagai pameran kekayaan budaya. Setiap tahun, sejak 2003, diselenggarakan Olympic Cultural Festival yang bertujuan memperkenalkan keunikan budaya China kepada dunia. Selama olimpiade, para atlet, ofisial, penonton dan wartawan juga disuguhi berbagai kegiatan seni. Situs web resmi olimpade memberikan informasi tentang museum, pameran, tempat-tempat minum teh dengan menu spesial warisan para raja China, dan pertunjukan Opera Peking, akrobat, bela diri, dan sebagainya.

Olimpiade Beijing yang berjalan lancar membuat China menjadi tuan rumah yang sukses karena berhasil membiayai dan mengelola hajatan besar yang pasti luar biasa rumitnya dari sisi logistik, keamanan, dan teknis. Ini akan membuktikan kemampuan teknologi dan sumber daya manusia China yang tidak kalah dengan negara-negara maju. Dengan berhasilnya para atlet China mengumpulkan medali emas terbanyak, menggeser Amerika Serikat, prestise China akan berganda: sukses dalam penyelenggaraan dan prestasi olahraga. Dengan keberhasilan menjadi tuan rumah olimpiade, China menampilkan diri sebagai negara yang kuat dan mampu memimpin, tetapi dengan wajah baru yang berbudaya dan bersahabat terhadap dunia luar.

Olimpiade Beijing bukanlah tujuan utama; tetapi bagaimana dunia melihat China setelah 2008. China berharap posisi dan prestisenya di dunia akan meningkat yang berarti kemampuannya untuk memengaruhi negara lain—tanpa menggunakan tekanan politik atau ekonomi— juga akan lebih besar.

Selamat mengagumi kekayaan serta kemampuan China.

Evi Fitriani Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Kandidat Doktor di Australian National University

[ Kembali ]

Kamis, 14 Agustus 2008

Jalan Pelajaran, Jalan Perubahan

200 tahun anyer-panarukan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 14 Agustus 2008.

Melintasi bayang gelap dari rerimbunan deretan pohon-pohon asam jawa bak melintas lorong waktu menuju masa lalu. Seolah kembali ke sekitar 200 tahun silam, menemukan kembali artefak lama tentang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) ”bikinan” Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels.

Awalnya adalah Anyer di barat yang dijejak Daendels 1 Januari 1808. Ujung satunya adalah Panarukan, 1.100-an km ke arah timur. Keduanya telah menjadi titik penting pembangunan jalan raya ”trans Jawa” yang menghubungkan pulau ini sebagai sebuah kesatuan. Dengan rampungnya Jalan Raya Pos, waktu tempuh Batavia ke Surabaya dari sebulan di musim kemarau terpangkas menjadi 3-4 hari saja.

Adalah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang berkuasa di Hindia Belanda sepanjang 1808-1811 yang "memulai" pembukaan "trans-Jawa" itu.

Awalnya, Jalan Raya Pos diperuntukkan bagi kepentingan administratif para penguasa. Gerobak atau cikar milik rakyat tidak boleh lewat. Berawal dari keinginan untuk menyiapkan sistem pertahanan dari kemungkinan serangan Inggris; Jalan Raya Pos sekaligus berperspektif ekonomis. Dasar pemikirannya: hanya dengan akses transportasi yang baik, sumberdaya bisa lebih mudah "disedot" ke pusat pemerintahan Hindia Belanda.

Pesona Jawa

Di masa lalu, Jawa memang ibarat "permata". Sumberdaya yang berlimpah terbukti bisa dikuras untuk mengapungkan negeri Belanda. Pendukung utama dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi itu adalah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch pada 1830.

Beberapa komoditas ekspor utama dan yang sengaja dipilih karena laku di pasar Eropa dan dunia adalah kopi, gula, teh dan tembakau. Hingga paruh awal abad ke-20, kopi terus berkembang menjadi komoditas andalan pemerintah Kolonial Belanda bersama-sama dengan teh, gula pasir, dan tembakau.

Belanda bak mendulang "emas hijau" dari sistem itu. Apalagi komoditas unggulan seperti kopi, gula, teh dan tembakau asal Jawa terus menanjak menjadi primadona di pasar dunia. Masa tanam paksa telah menjadikan Jawa sebagai pemasok sumberdaya yang luar biasa. Dari semua itu diperkirakan Belanda bisa mendapatkan untung sampai 2,4 juta gulden per tahun, sementara buruh perkebunan hanya dibayar sekitar 30 sen saja.

Masa lalu juga menyisakan cerita kepedihan. Daendels dianggap menjalankan kekuasaan tangan besi selama memerintah.

Apapun, zaman bergerak. Jawa yang tampak kini sungguh sangat berbeda dari Jawa 200 tahun silam. Jalan raya itu telah berubah menjadi salah satu urat nadi ekonomi, salah satu sumber perubahan di Jawa. Pembangunan infrastruktur baru, utamanya jalan, pastilah akan mendorong perubahan—terutama bagi wilayah dan penduduk yang dilewatinya.

Ketika semuanya bisa bergerak lebih cepat, rupa Jalan Raya Pos tak lagi sama dengan 200-an tahun silam. Demikian pula dengan lingkungan sosial dan ekonomi di sekitarnya. Jalan Raya Pos mengubah wajah perkotaan Jawa, menjadi saksi hidup dan matinya kota-kota yang dilaluinya. Jalan ibarat "penyedot" dan "penggelontor" sumberdaya dan energi lokal. Jalan juga menjadi pintu masuk melihat potret kehidupan yang tak banyak perbaikan. Ratusan hingga jutaan warga terbelit persoalan kemiskinan. Petani yang kehilangan tanah garapan, nelayan yang tidak lagi sanggup melayarkan kapal ke lautan.

Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan digagas Kompas untuk mengingatkan kembali bangsa ini tentang perjalanannya di masa lalu. Ekspedisi akan dimulai di Anyer pada 15 Agustus ini dan diakhiri di Panarukan 25 Agustus mendatang.

Jawa ibarat perahu sarat penumpang. Berdasarkan survei pemerintahan Raffles pada 1815, jumlah penduduk Jawa-Madura sebanyak 4.615.270 jiwa pada awal abad ke-19. Kini, penduduk Pulau Jawa telah melonjak menjadi sekitar 129,996 juta jiwa. Daya dukung Jawa tentu menjadi makin berat, bahkan pada tingkat mengkawatirkan. Krisis air bersih selalu menjadi hantu.

Jalan Daendels, Jalan Raya Pos, Jalan Anyer-Panarukan, atau apapun sebutannya adalah tonggak untuk belajar melihat ke dalam, menemukan kembali diri kita. Melihat diri lebih dalam, menarik pelajaran, dan menerawang perubahan yang mesti dilakukan di depan.

(Sidik Pramono/ B Josie Susilo Hardianto)


[Kembali]


Jayabaya

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008

Oleh Jakob Sumardjo

Ini sama sekali bukan klenik yang menghubungkan nama Jayabaya dengan ramalan-ramalannya. Memang tokoh historis ini juga tokoh mitos Jawa, yang muncul kembali namanya setiap bangsa mengalami masa-masa krisis, masa putus asa, masa penderitaan, yang mengharapkan segera datangnya zaman emas.

Raja Jayabaya hidup dalam abad ke-12 di Kerajaan Panjalu, yang dalam buku-buku sekolah disebut Kediri. Dialah raja yang berhasil mengalahkan saudaranya, raja Kerajaan Jenggala, sehingga kerajaan Jawa bersatu kembali. Kemenangan ini, antara lain, diabadikan dalam prasasti yang dibuatnya pada tahun 1135 yang dikenal sebagai Prasasti Ngantang, dengan semboyan Panjalu Menang (Penjalu Jayati).

Urusan kita bukan dengan kemenangan politik ini, tetapi dengan sebuah karya sastra berbentuk kakawin (puisi) Bharatayudha yang ditulis oleh dua pujangga, Empu Sedah dan Empu Panuluh, pada tahun 1157. Dengan demikian, sekitar 22 tahun setelah Panjalu Jayati, Raja Jayabaya diabadikan dalam kakawin terkenal tersebut.

Yang menarik dari kakawin ini adalah ungkapan sebagai berikut: Pulau Jawa adalah tanah yang subur makmur, sangat indah tiada tara, tetapi negara itu sedang menderita sedih karena dirusak oleh orang-orang jahat. Raja yang memerintah tidak mampu menjaganya.

Batara Wisnu melihat itu, iba hatinya. Karena itu, ia turun ke dunia untuk menjadi raja Jawa demi keamanan dan kesejahteraan kerajaan. Dahulu, sebagai Batara Kresna, ia telah berjaya gilang-gemilang dalam perang (Bharatayudha). Sekarang yang menjadi sesembahan semesta adalah Raja Jayabaya, yang melanjutkan tugas Batara Kresna.

Petikan ini hanya ingin menunjukkan bahwa Pulau Jawa masa lampau lewat 850 tahun lalu sama saja dengan Pulau Jawa zaman sekarang. Syair di atas, kalau dihilangkan Batara Wisnu dan Batara Kresna, akan sama dengan gambaran masa kita kini. ”Tanah Jawa yang subur makmur dirusak oleh orang-orang jahat. Dan raja yang memerintah tak mampu menjaganya.”

Menguasai Jawa

Pulau Jawa dan Indonesia tidak ada bedanya. Jawa yang subur makmur adalah Indonesia yang subur makmur. Sejarah peradaban Indonesia berpusat di Pulau Jawa sehingga DN Aidit pernah menyatakan bahwa menguasai Jawa berarti menguasai Indonesia. Sejarah Indonesia sendiri banyak bermain di Pulau Jawa sejak zaman Hindu-Buddha, Islam, dan kolonial Belanda, kemudian Republik Indonesia. Menguasai Indonesia itu harus dimulai di Pulau Jawa. Jepang melakukannya demikian.

Kesuburan dan kemakmuran Indonesia mengalir ke Pulau Jawa. Rotasi mata uang berpusat di Pulau Jawa dan lebih khusus lagi di Jakarta. Tidak mengherankan apabila arus urbanisasi terpusat ke Jakarta. Kekayaan Indonesia itu adanya di Jakarta sehingga remah-remah yang jatuh menjadi rebutan kaum urbanis.

Dibaca secara modern, Jayabaya dan Bharatayudha adalah gambaran untuk diri kita. Raja Jayabaya yang masih muda bertindak sebagai Kresna, perwujudan Dewa Wisnu yang mencintai keadilan, kemakmuran, dan kedamaian, dapat berubah menjadi Brahala berkepala seribu apabila marah. Kemarahannya ditujukan kepada orang-orang jahat yang membuat negara rusak dan rakyatnya menderita.

Wisnu itu paradoks, seperti halnya Kresna dan Raja Jayabaya. Ia yang adil dan baik hati penuh cinta kasih dapat berubah seketika menjadi perusak maha dahsyat menghancurkan orang- orang jahat yang merusak negara. Dan itulah yang dilakukan Jayabaya dalam perang ”Bharatayudha Jawa”.

Ia melakukan ritual korban dengan persembahan bunga-bunga yang terselip di kepala musuh-musuhnya yang terpenggal, biji-biji mata lawan menjadi butir-butir wijen, dan kota-kota yang terbakar sebagai anglo pembayar kemenyan.

Hutan kejahatan

Raja Jayabaya tidak mau dicatat dalam sejarah sebagai ”raja yang memerintah tidak mampu menjaganya”. Ia telah mulai dengan KPK-nya. Namun, ”orang- orang jahat yang merusak negara” masih terlalu banyak. Mereka ini ibarat semut-semut yang ribuan keluar dari liangnya. Dibunuh lima, yang muncul lima puluh. Dibinasakan yang lima puluh, muncul dua ratus. Dua ratus diluluhlantakkan, muncul seribu. Gila! Orang Jawa akan mengatakannya, nggilani. Bikin bergidik bulu roma akibat lawan tak habis-habisnya.

Kejahatan itu, dalam cerita wayang kulit, ibarat Perang Kembang. The War of the Roses. Dalam setiap cerita, dari generasi ke generasi wayang berikutnya, akan selalu muncul barisan begundal (jahat) yang sama, yakni raksasa Cakil dengan empat companies- nya, yang masing-masing bertubuh hitam, putih, kuning, dan merah, lambang nafsu-nafsu manusia. Pembegal-pembegal jahat ini selalu berhasil dibunuh dalam sebuah cerita, tetapi hidup dan muncul kembali dalam cerita yang lain. Kejahatan itu abadi, tak bisa dilenyapkan. Hanya bisa dikurangi.

Perang Bharatayudha yang sudah dimulai sekarang ini baru awal perang. KPK sekarang ini baru menyiangi pinggir hutan kejahatan. Perang Bharatayudha masih harus diteruskan oleh Jayabaya-Jayabaya berikutnya karena undang-undang sekarang ini tak memungkinkan lagi menjadi presiden seumur hidup. Dua kali masa kepresidenan juga belum cukup. Harus ada empat atau lima presiden berikutnya yang terus memukul genderang perang Bharatayudha.

KPK perlu diperkuat dengan tambahan panglima-panglima perang yang berwatak kuat dan berani mati. Bunga-bunga yang terselip di kepala-kepala musuh masih banyak untuk dijadikan korban.

Anak cucu kita juga yang akan menanggung perbuatan-perbuatan kita yang jahat. Penyair Abdul Hadi WM pernah menulis, kita sedang mencuri buah-buah dari pohon anak cucu kita. Betapa malu kita dibuatnya. Namun, Jayabaya telah memulai perang Bharatayudha.

Jakob Sumardjo Esais

[Kembali]

Jumat, 08 Agustus 2008

Mengapa Indonesia Gagal?

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008.

(sri hartati samhadi)

Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia sebenarnya juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi yang hampir sama dengan Korsel, yakni promosi ekspor dan substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya.
Namun, langkah ini tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Penyebabnya jelas, tidak adanya kebijakan industrialisasi yang terintegrasi dengan kebijakan sektor lain, seperti perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, dan teknologi.
Kajian Chuk Kyo-kim dari Korea Institute for International Economic Policy, Shuvojit Banerjee dari UNSFIR, Shafiq Dhanani dari UNIDO/UNDP, serta Thee Kian Wie dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan Korea Selatan (Korsel) justru adalah faktor-faktor di mana Indonesia gagal.
Selain tidak adanya suatu pendekatan kebijakan terintegrasi dalam pembangunan industri, terjadi kegagalan strategi industri yang di bawah kepemimpinan negara (pemerintah pusat).
Ketiga, kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Keempat, kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).
Chuk Kyo-kim dan Thee Kian Wie sendiri membagi kebijakan pembangunan industri Indonesia sebelum krisis 1997 ke dalam tiga fase besar, yakni 1966-1974, 1975-1984, dan 1985-1997. Fase pertama ditandai strategi ekonomi pintu terbuka yang ditujukan untuk menarik investasi asing dan utang dalam rangka membiayai impor dan perbaikan infrastruktur.
Fase kedua adalah fase lonjakan harga minyak (oil-boom). Pada fase ini, pemerintah menerapkan kebijakan industri substitusi impor yang dibiayai dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah menghasilkan sendiri di dalam negeri produk-produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa.
Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank-bank BUMN. Tujuan dari kebijakan ini adalah membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek-proyek besar sumber daya alam itu.
Namun, tekanan fiskal akibat anjloknya harga minyak mentah di pasar dunia tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca-Plaza Accord (kesepakatan untuk melakukan penyesuaian nilai tukar dollar AS-yen dalam rangka mengoreksi defisit neraca perdagangan AS-Jepang) tahun 1985, memaksa pemerintah mengubah kebijakan secara dramatis.
Yakni kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan sekaligus liberalisasi investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor.
Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi, deregulasi sektor perbankan dan keuangan, yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah sebesar 5 persen per tahun untuk menjaga daya saing.
Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riil hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980-1993.
Namun, liberalisasi yang terjadi waktu itu sifatnya masih parsial dan gradual. Beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat, termasuk industri perakitan mobil, semen, baja, rekayasa berat, pabrikasi baja, dan farmasi. Kebijakan industrialisasi pada fase ini sangat dipengaruhi oleh BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) waktu itu.

Lompatan teknologi
Pada masa BJ Habibie sebagai Menristek, pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi. Industri dimaksud adalah industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait.
Argumen Habibie waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, menurut Habibie, yang diperlukan adalah investasi di teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi.
Alhasil, sumber penerimaan negara dalam jumlah besar digelontorkan ke industri-industri yang mendapat proteksi ketat dari pemerintah ini. Industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja menjadi dianaktirikan.
Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada fase ketiga kebijakan industri (1985-1997). Demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri-industri berat.
Namun, proteksi ini dinilai Chuk tak berhasil karena industri-industri yang diproteksi secara ketat itu ternyata tak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional secara keseluruhan.
Ini berbeda dengan di Korea, di mana industri berat mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an tetap industri padat karya yang berorientasi ekspor, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi.
Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya berorientasi ekspor itu sendiri tidak mampu tumbuh optimal.
Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah tingginya kandungan impor, sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas buruh.
Chuk Kyo-kim melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan saling kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan.
Kesan yang ada selama ini, kebijakan di tiap-tiap sektor itu jalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk suksesnya suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung, konsisten, dan koheren. Lebih parah lagi, ia tidak melihat adanya kebijakan industri yang jelas setelah tahun 2004.
Kebijakan pengembangan industri pada era tersebut, menurut Chuk Kyo-kim, sangat didominasi nuansa kebijakan jangka pendek, itu pun gagal mengatasi isu-isu yang sifatnya struktural dari perspektif pembangunan jangka panjang.
Ke depan, kebijakan industrial targeting memang tak dimungkinkan lagi untuk diterapkan pada era WTO. Namun, menurut dia, itu tidak berarti dukungan kebijakan secara tak langsung untuk mendorong daya saing industri dan pembangunan industri nasional untuk kepentingan pembangunan nasional jangka panjang tak bisa lagi dilakukan.
Kuncinya tetap saja adalah pentingnya pendekatan kebijakan yang sifatnya terintegrasi dan koordinasi kebijakan yang lintas sektoral. Akan tetapi, sekali lagi, untuk bisa mewujudkan ini diperlukan suatu kepemimpinan yang kuat, tegas, visioner, dan efektif.

(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Indonesia Mau ke Mana?

EKONOMI
Oleh PRABOWO SUBIANTO
Diunduh dari Harian KOMPAS, 11 Juli 2008.

Laissez-faire menciptakan sedikit orang kaya, banyak orang miskin. Tanpa laissez-faire, di Amerika Latin kemiskinan berkurang, ekonomi tumbuh.
Orang terkaya di dunia, Carlos Slim Helu (68), berasal dari Meksiko. Koran The Wall Street Journal, Agustus tahun lalu, melaporkan kekayaan raja telekomunikasi dari negeri sombrero itu sekitar 60 miliar dollar AS. Ia menyalip investor sukses Wall Street, Warren Buffett, bahkan pemilik Microsoft, Bill Gates, yang sudah 11 tahun menyandang gelar orang terkaya dunia. Kekayaan Bill Gates dikabarkan 58 miliar dollar AS, masih di bawah kekayaan Slim Helu.
Majalah Fortune yang menobatkan Slim Helu sebagai orang terkaya dunia tahun lalu mendeskripsikan apa saja yang dilakukan di Meksiko selalu bersinggungan dengan bisnisnya. Mulai menarik uang tunai di ATM atau bank, minum kopi dan merokok di kafe, mengendarai mobil, naik sepeda, naik kereta api, pesawat terbang, hotel, apalagi telepon. Telefonos de Mexico (Telmex) yang mengontrol 92 persen sambungan telepon negeri itu milik Slim Helu. Perusahaannya yang lain, Telcel, menguasai 70 persen pasar telepon seluler.
Ayah Carlos, Julian Slim, pemuda Maronites Lebanon, merantau ke Meksiko pada 1902 karena menghindari wajib militer Turki-Ottoman. Julian mulai dengan bisnis jual-beli rumah. Tetapi adalah sang anak, Carlos Slim Helu, yang membangun kerajaan bisnis ini.
Ia masih berusia 13 tahun saat ayahnya meninggal. Sekarang ia memiliki sedikitnya 200 perusahaan dengan nilai setara 7 persen produk domestik bruto Meksiko atau sepertiga Mexican Bolsa, bursa saham Meksiko. Menakjubkan.
Naiknya Slim ke puncak dimulai tahun 1988 ketika temannya, Carlos Salinas de Gortari, menjadi Presiden Meksiko. Salinas, teknokrat tamatan Universitas Harvard, ingin memodernisasi negerinya dengan meniru cara Profesor Milton Friedman dari Universitas Chicago menangani ekonomi Cile pada zaman Jenderal Augusto Pinochet, yaitu dengan jalan kapitalisme atau laissez-faire.
Salah satu langkahnya adalah privatisasi BUMN. Ratusan BUMN dilego Salinas dan Slim Helu menjadi orang paling beruntung menjadi pemilik baru BUMN itu, terutama yang bergerak di bidang telekomunikasi.
Pada awal gebrakan Salinas, dalam daftar orang kaya majalah bisnis Forbes cuma ada dua nama Meksiko. Pada 1994, artinya setelah enam tahun masa jabatan Salinas, jumlah itu meloncat menjadi 24 nama, salah satunya Slim Helu.
Negeri dengan 100 juta penduduk ini memang tumbuh. Menurut Forbes 13 April 2007, pendapatan per kapita Meksiko 6.800 dollar AS, jauh di atas Indonesia. Namun, separuh penduduk Meksiko hidup dalam kemiskinan, 20 persen malah hidup dengan kurang dari 2 dollar AS per hari, sementara yang kaya hidup setara kelompok jetset dunia di New York, London, Paris, dan Roma.
Itu pun harus dicatat banyak orang miskin Meksiko diselamatkan oleh lapangan kerja di Amerika Serikat, meski harus menjadi imigran gelap. Para pekerja migran itu setiap tahun memasukkan devisa 20 juta dollar AS ke Meksiko, terbesar kedua setelah ekspor minyak.
Bukti pembagian kue amat timpang bisa diketahui dari tingginya koefisien gini negeri itu seperti dilaporkan Program Pembangunan PBB (UNDP), yaitu 53,1 (tahun 2003), 46,1 (2004), 50,9 (2005). Angka di atas 40 menunjukkan ketimpangan yang jelek.

Orang miskin berkurang
Di sinilah masalahnya. Dalam negara dengan sistem kapitalisme, orang kaya memang tumbuh, tetapi orang miskin tumbuh jauh lebih cepat. Itu terjadi di Meksiko, Hongkong, Afrika Selatan, dan Indonesia. Bahkan juga di Amerika Serikat, negeri mapan dengan pendapatan per kapita 50.000 dollar AS.
Paul Krugman, guru besar ekonomi Universitas Princeton dan kolumnis The New York Times, mengkaji soal itu di dalam bukunya The Conscience of A Liberal, terbit akhir tahun lalu.
Menurut Krugman, selama tiga dekade kekayaan 0,01 persen orang terkaya AS bertambah 7 kali, sementara masyarakat lain hampir tak berubah, malah berkurang karena digerogoti inflasi. Tahun 1970-an, eksekutif puncak berpenghasilan 30 kali rata-rata pendapatan pegawainya. Sekarang lebih dari 300 kali.
Kecenderungan yang sama terjadi di Indonesia. Kalau diperhatikan data UNDP, terlihat koefisien gini kita merambat naik, menandakan proses ketimpangan ekonomi sedang terjadi. Kenaikan harga BBM yang lalu menyebabkan ketimpangan ekonomi memburuk.
Sementara itu, sejumlah negara Amerika Latin telah menyingkirkan laissez-faire, seperti Venezuela, Ekuador, Argentina, dan Bolivia, dan mereka mengalami sukses dalam mengurangi kemiskinan. Ekonomi Venezuela tumbuh 10 persen per tahun, dengan kemiskinan berkurang signifikan.
Argentina bukan saja tumbuh 8 persen per tahun, tetapi keluar dari krisis ekonomi 2002, sekalian berhasil menghapuskan 8 juta orang miskin di negerinya (lihat artikel Mark Weisbrot, ”Doing it Their Own Way”, International Herald Tribune, 28 Desember 2006).
Apakah sistem ekonomi pasar salah? Patrick J Buchanan, intelektual konservatif, dua kali menjadi kandidat presiden Amerika Serikat, berkata, ”Tidak. Yang salah kalau kita menyembahnya.”
Dan itu, kata Buchanan, terjadi di Amerika Serikat sejak zaman Presiden Ronald Reagan, menyebabkan industri hengkang, buruh menganggur, neraca perdagangan defisit, Amerika Serikat hidup dari menumpuk utang, lalu kini dilanda krisis dan terancam terpecah-belah (Patrick J Buchanan dalam Day of Reckoning, St Martin Press, New York, 2007).
Bagi Buchanan, sistem apa pun harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Itulah, katanya, yang dilakukan Bapak Pendiri Amerika (George Washington, Hamilton, dan Madison), menyebabkan negeri itu jadi sebesar sekarang. Kini itu dirusak perdagangan bebas. Pertanyaan: Indonesia mau ke mana?

Prabowo Subianto
Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

[Kembali]

Budaya Kompetitif di Balik "Booming" IT

Oleh Sri Hartati Samhadi
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008.

Banyak orang mengaitkan kemajuan dan capaian spektakuler Korea Selatan di berbagai bidang dengan budaya bangsa Korsel yang maunya semua serba cepat atau dalam istilah Cha Young-chul, Deputi Direktur Jenderal Kementerian Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Korsel, ”speedy speedy culture”. Dalam bahasa Korea, ppalli ppalli.
Speedy speedy culture juga tercermin dalam sikap mereka sehari- hari. Tak pernah berhenti bergerak, selalu tampak sibuk dan selalu mau cepat-cepat. Bahkan, kebiasaan orang Korsel minum soju (minuman alkohol khas Korea) dari gelas kecil dalam satu kali tegukan pun dilihat sebagai cermin dari budaya mau serba cepat ini.
Pengamat budaya Korsel lebih melihat speedy speedy culture ini dari sisi positif, yakni gambaran kultur bangsa Korsel yang selalu tepat waktu, efisien, disiplin, rajin bekerja, dan sangat kompetitif.
Awalnya, menurut Cha Young-chul, pelaku bisnis Barat yang tak terbiasa sering melihat ini sebagai sebuah sikap yang kasar atau tidak sopan. Tetapi, mereka kemudian melihat hasilnya pada perekonomian Korsel dan banyak yang kemudian berbalik ingin belajar dari Korsel.
Speedy speedy culture ini menular seperti virus. Orang asing yang lama tinggal di Korsel akan tertulari. Anda juga tak akan bisa hidup di Korsel kalau tidak serba cepat-cepat karena kultur budaya dan persaingan sangat kompetitif,” ujar Cha.
Sudah banyak buku mengulas mengenai budaya kompetitif bangsa Korsel sebagai faktor kekuatan dan keunggulan untuk menghasilkan berbagai terobosan dalam inovasi teknologi. Cha mencontohkan yang terjadi dengan teknologi informasi dan komunikasi, seperti telepon genggam.
”Orang Korea sangat tak sabaran. Mereka sangat haus teknologi baru setiap saat. Sementara seperti Nokia perlu tiga bulan hanya untuk mendapatkan persetujuan untuk mengembangkan produk baru. Itu terlalu lama bagi orang Korea. Mereka kemudian mengembangkan sendiri. Seperti gadget dan fiture games atau tampilan telepon genggam, di sini setiap hari orang bisa ganti,” ujar Cha dalam pertemuan dengan peserta Next-Generation Leaders Program dari Indonesia di Seoul, akhir bulan lalu.
Korea adalah negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996. Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negara ini.
Disusul capaian spektakuler lain, seperti digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB (2005).
Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadi perekonomian yang jauh lebih kuat. Dalam tiga tahun, transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006).
Ekspor produk ICT pun melonjak dari 48,4 miliar dollar AS (2001) menjadi 113,3 miliar dollar AS (2006). Sumbangan komponen ICT dalam produk domestik bruto (PDB) riil nasional melonjak dari 10,1 persen (2001) menjadi 16,2 persen pada kurun waktu yang sama.

Kemampuan adaptasi
Pertumbuhan pesat internet dan industri ICT ini dipicu oleh tiga hal. Pertama, cepatnya adaptasi masyarakat terhadap teknologi baru. Antusiasme ini tak bisa dilepaskan dari budaya self-education bangsa Korsel. Revolusi di bidang teknologi digital tak mungkin terjadi tanpa ada dukungan konsumen yang sangat terbuka pada teknologi dan inovasi baru.
Hampir semua warga Korsel memiliki sedikitnya satu telepon genggam. Tingkat penetrasi internet di level rumah tangga mencapai hampir 80 persen, sementara di kalangan industri hampir 100 persen.
Internet dengan cepat menggantikan TV sebagai sumber utama informasi. Dari ibu rumah tangga, siswa SD, pedagang kecil, hingga pekerja kantoran dan kantor pemerintahan sudah memanfaatkan jasa internet ini. Dalam empat tahun, pendapatan bisnis jasa internet melonjak 10.000 persen dari 36,4 miliar won (1999) menjadi 3.700 miliar won (2003).
Faktor kedua adalah ketatnya persaingan antarpenyedia jasa internet, seperti Korea Telecom, Hanaro, dan Thrunet, yang menyebabkan konsumen bisa menikmati harga murah. Ditambah lagi biaya konstruksi jaringan yang bisa ditekan rendah dengan tingginya kepadatan populasi karena 50 persen penduduk Korsel tinggal di apartemen.
Selain itu, tak kalah penting adalah dukungan kebijakan pemerintah lewat strategi IT839 dan e-korean program melalui pembangunan jaringan infrastruktur informasi dan komunikasi berkecepatan tinggi (high-speed information and communication network) sejak 1995.
Dukungan kebijakan itu termasuk dengan menghilang- kan segala kendala aturan dan kebijakan yang menghambat pertumbuhan industri ITC. Jadi, kuncinya adalah kemitraan kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakatnya.
Hasilnya, Korsel berhasil mewujudkan ambisi menjadi information society pada abad ke-21, jauh lebih cepat dari yang ditargetkan. Dalam Indeks Informatisasi global, posisi Korsel terus naik dari urutan 22 (1998) menjadi 12 (2003) dan 3 (2005). Untuk Digital Opportunity Index yang disusun International Telecommunication Union, Korsel di urutan teratas selama dua tahun berturut-turut.
Sebagai kota, ibu kota Seoul juga masih tetap teratas dalam hal e-governance, mengalahkan Hongkong, Helsinki, Singapura, Madrid, dan London.
Keberadaan Korea Ubiquitous Dream Hall Exhibition di Seoul yang memamerkan berbagai teknologi serba digital dan mekanis, termasuk robot-robot untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, adalah gambaran kehausan bangsa Korsel akan inovasi dan teknologi yang semakin canggih di bidang ICT. Kemajuan teknologi ini akan membuat Korsel semakin cepat berlari.
Tetapi, budaya ppali ppali bukannya tanpa ekses. Masyarakat mengeluhkan banyaknya penyalahgunaan internet. Merebaknya spam dan situs porno yang jumlahnya mencapai sekitar 170.000 situs tahun 2005 dan bertambah 250 situs baru setiap hari hanya salah satu contoh. Sekitar 27,5 persen siswa SMP dan 23,8 persen siswa SMA Korsel dilaporkan juga sudah pada tahap ketagihan internet. (TAT)

Bangsa yang Dibangun di Atas Fondasi Ekspor

Oleh Sri Hartati Samhadi
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 18 Juli 2008

Keberhasilan pembangunan ekonomi Korsel selama 4,5 dasawarsa lebih sejak merdeka tahun 1945, tak bisa dilepaskan dari kebijakan pengembangan industri yang sifatnya selektif (industrial targeting). Berdasarkan strategi ini, pemerintah menetapkan sejumlah sektor industri sebagai sektor prioritas yang kemudian didukung secara all-out oleh pemerintah, termasuk melalui kebijakan perdagangan, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan teknologi.
Presiden Park Chung-hee, yang berkuasa lewat kudeta militer terhadap Perdana Menteri Chang Myong pada Mei 1961, boleh dikatakan adalah arsitek utama di balik industrialisasi Korsel. Pertumbuhan ekonomi Korsel yang mencengangkan dimulai sejak diberlakukannya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama pada tahun 1962 oleh pemerintahan ini.
Salah satu hal yang menonjol pada awal proses pembangunan ekonomi dan industrialisasi di Korsel adalah kuatnya peran negara di bawah rezim militer yang otoriter waktu itu. Peran pemerintah yang kuat, menurut Park, diperlukan karena pada saat itu belum ada institusi lain yang bisa diharapkan mampu membawa Korsel keluar dari kemiskinan.
Saat itu Korsel adalah negara termiskin ketiga di Asia, dengan pendapatan per kapita pada tahun 1962 hanya 87 dollar AS per tahun atau di bawah negara-negara miskin Afrika.
Chuk Kyo-kim dari Korea Institute for International Economic Policy/KIEP (”Korea’s Development Policy Experience and Implications for Developing Countries”, 2008) menyebutkan, tidak seperti negara berkembang lain yang umumnya memulai pembangunan ekonominya dari sektor pertanian, Korsel sejak awal mengadopsi strategi kebijakan pembangunan industri, kendati sektor pertanian memainkan posisi dominan dalam perekonomian saat itu.
Alasannya sangat pragmatis, yakni tidak tersedianya lahan yang memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan produksi pertanian dalam skala besar.
Dalam kondisi seperti itu, strategi pengembangan sektor industri dinilai sebagai langkah paling tepat. Kebijakan industri yang ditempuh harus berorientasi keluar (outward-oriented), mengingat pasar dalam negeri yang sempit. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan tidak akan terjadi.
Berdasarkan strategi ini, pemerintah berusaha mendorong industri berorientasi ekspor melalui segala bentuk insentif yang dimungkinkan. Park bahkan membuat slogan nasional Korsel, yakni ”bangsa yang dibangun dengan ekspor”. Ia juga memimpin langsung setiap pertemuan bulanan untuk membahas upaya peningkatan ekspor, yang dihadiri para pejabat tinggi pemerintah dan para pimpinan bisnis.

Keunggulan kompetitif
Berbeda dengan pembangunan industri di negara-negara berkembang lain, menurut Chuk Kyo-kim, pemerintah Korsel di bawah Park dan para penerusnya secara terus-menerus berusaha melakukan adaptasi terhadap kebijakan industrinya, untuk menyesuaikan dengan kondisi eksternal yang ada dan tahap perkembangan keunggulan komparatif yang dimiliki di dalam negeri pada saat itu.
Pada dekade 1960-an, misalnya, pemerintah memilih mendorong industri manufaktur ringan karena pada saat itu keunggulan komparatif yang dimiliki Korsel adalah di industri-industri padat karya.
Pada tahun 1970-an fokus kebijakan industri bergeser ke industri kimia dan industri berat (HCI). Selain untuk menyaingi Jepang, kebijakan mendorong industri berat ini juga ditempuh dalam rangka merespons meningkatnya proteksionisme negara-negara maju untuk melindungi produk-produk industri padat karya mereka.
Saat itu Korsel meyakini industri mereka tertinggal 20-30 tahun di belakang Jepang. Untuk mengejar ketertinggalan dari Jepang, Korsel bahkan nyaris menjiplak utuh kebijakan-kebijakan yang berlaku di Jepang. Beberapa industri yang dipilih oleh Pemerintah Korsel untuk dikembangkan di sini adalah baja, baja nonbesi, pembuatan kapal, elektronik, mesin, dan petrokimia.
Untuk mendukung ambisi ini, pemerintah membuat beberapa langkah penyesuaian kebijakan, dengan penekanan utama pada pengembangan kapasitas teknologi lokal melalui pengembangan lembaga-lembaga riset dan pengembangan (R&D) yang dibiayai oleh pemerintah serta memperkuat pendidikan di bidang rekayasa, terutama rekayasa mekanik, elektrik, dan elektronik.
Kendati sangat mahal dan memunculkan dampak negatif (seperti inflasi, ekses kapasitas, dan konsentrasi penguasaan ekonomi di tangan segelintir konglomerat besar/chaebol), kebijakan ini dianggap sukses dalam meletakkan dasar bagi pembangunan industri yang pesat dan pertumbuhan ekonomi tinggi Korsel selama beberapa dekade setelahnya.
Selanjutnya, fase dekade 1980-an ditandai oleh kebijakan liberalisasi dan kebijakan industrial yang berorientasi pada teknologi. Kebijakan ini ditempuh sebagai respons atau koreksi terhadap problem struktural yang muncul sebagai akibat kebijakan industrialisasi yang ditempuh pada dekade sebelumnya (kebijakan yang mengistimewakan usaha besar) yang dinilai merongrong daya saing internasional industri Korsel.
Respons kebijakan dimaksud adalah dengan cara mengurangi intervensi dan proteksi terhadap usaha-usaha besar dan lebih menyerahkan jalannya perekonomian pada bekerjanya mekanisme pasar, termasuk dalam alokasi sumber daya.
Dukungan besar kembali diberikan pada kegiatan R&D dan inovasi industri, selain juga liberalisasi perdagangan untuk kepentingan akuisisi teknologi dan memfasilitasi masuknya investasi langsung asing (FDI). Kebijakan lainnya adalah mendorong pengembangan usaha kecil dan menangah.
Berikutnya, fase awal 1990-an ditandai oleh percepatan liberalisasi perdagangan, dengan berperan aktifnya Korsel dalam perundingan Putaran Uruguay. Berbagai kebijakan dan aturan terkait perdagangan disesuaikan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dengan basis industri elektronik yang sangat kompetitif yang sudah dimilikinya, pada fase ini Korsel maju selangkah lagi lewat pencanangan program Korsel menuju era masyarakat informasi abad 21 melalui pengembangan industri teknologi informasi (IT).
Langkah ini dimulai dengan menderegulasikan industri jasa telekomunikasi yang struktur pasarnya sebelumnya sangat monopolistik. Dengan cara ini, muncul pemain baru dan tercipta persaingan yang kompetitif di pasar. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan penerapan strategi globalisasi industri IT, dengan mengundang masuknya investasi asing di IT.
Pada era ini Korsel memantapkan diri sebagai kekuatan besar di bidang industri teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dunia. Satu tahapan spektakuler baru lagi dalam kemajuan ekonomi Korsel dalam kurun waktu yang begitu singkat. Tampaknya, Korsel belum akan berhenti sampai di sini.

Pelajaran penting
Beberapa pelajaran penting yang bisa ditarik oleh negara-negara berkembang dari pengalaman pembangunan industri Korsel, menurut Chuk Kyo-kim, adalah pentingnya adaptasi kebijakan untuk menyesuaikan dengan iklim ekonomi yang ada seperti ditempuh Korsel.
Kedua, harmonisasi kebijakan, antara kebijakan industri dan kebijakan perdagangan serta kebijakan pengembangan SDM dan kebijakan pengembangan teknologi. Kebijakan perdagangan dan kebijakan industri, menurut Chuk Kyo-kim, ibarat dua sisi mata uang.
Dalam kasus Korsel, ketika industri HCI memerlukan proteksi pada dekade 1970-an, pemerintah menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif. Sebaliknya, pemerintah memberlakukan kebijakan liberalisasi perdagangan ketika industri memerlukan stimulasi dalam bentuk persaingan pada dekade 1980-an dan 1990-an.
Pelajaran ketiga, penerapan kebijakan proteksi terhadap industri yang masih bayi (infant industry protection) di dalam negeri penting dilakukan, tetapi sifatnya harus temporer. Korsel adalah salah satu dari sedikit negara yang sukses dengan kebijakan infant industry protection.
Banyak negara lain, termasuk Indonesia, juga menerapkan kebijakan seperti ini untuk mengembangkan industri substitusi impor mereka, tetapi gagal karena proteksi berkepanjangan sehingga justru menimbulkan fenomena rent-seeking di kalangan pelaku usaha.
Keempat, pentingnya mendorong pengembangan sektor swasta karena ekonomi pasar tak mungkin berjalan tanpa dukungan sektor swasta yang kuat. Dalam kasus Korsel, pada dekade 1960-an dan 1970-an mereka memang banyak sekali melakukan intervensi dalam alokasi sumber daya, terutama melalui kepemilikan saham di industri baja, pengilangan minyak, pupuk, dan mesin.
Namun, pada dua dekade berikutnya (yakni setelah swasta sudah kuat) pemerintah melepas sebagian besar kepemilikan di industri-industri tersebut. Pemerintah juga mendorong kegiatan R&D melalui subsidi langsung dan insentif pajak untuk menstimulasi pengembangan teknologi industri.
Kelima, pentingnya strategi pembangunan yang outward-looking. Strategi yang diterapkan Korsel mengeksploitasi keunggulan komparatif Korsel di pasar dunia. Ini dilakukan dengan membuat perekonomian tetap terbuka dan menjamin manajemen makroekonomi yang solid.
Tak ada gading yang tak retak. Chuk Kyo-kim mengatakan, Pemerintah Korsel sendiri tak lepas dari kegagalan dalam kebijakan. Beberapa kritik menuding ketergantungan Korea yang sangat besar pada perdagangan sebagai sumber kerentanan perekonomian domestik terhadap kejutan-kejutan yang bersumber dari luar (external shocks), sebagaimana ditunjukkan pada dua krisis minyak pada tahun 1980-an dan krisis finansial pada 1997.
Salah satu kelemahan kebijakan yang disebut Chuk Kyo-kim adalah kebijakan yang sangat berpihak pada usaha besar pada dekade 1960-an hingga 1970-an. Kebijakan ini menuntun pada terjadinya ekspansi berlebihan (over-investment/over-diversification) oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama chaebol dan terjadinya akumulasi utang korporasi secara eksesif.
Dukungan berlebihan pemerintah pada usaha besar juga melahirkan fenomena too big to fail. Perbankan lebih suka menyalurkan kredit kepada konglomerat karena meyakini pemerintah pasti tak akan membiarkan para konglomerat ini bangkrut (Sebab, kalau tidak akan memunculkan risiko sistemik yang bisa menyeret seluruh perekonomian).
Hal ini memunculkan moral hazard di kalangan perbankan dan juga para konglomerat itu sendiri, tercermin dari penyaluran kredit yang gegabah, kemudian macet, dan menjadi salah satu pemicu berimbasnya krisis finansial pada 1997 ke Korsel.

Kamis, 07 Agustus 2008

Pemimpin Muda Atau Mampu?

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 25 Jul 2008
Kampanye pemimpin muda makin gencar. Isu pokoknya adalah bahwa para pemimpin lama sudah gagal, dan karena itu sudah waktunya keluar dari gelanggang. Gantinya adalah generasi baru: pemimpin muda yang membawa harapan baru. Ada yang menggalang lewat jalur partai, dan ada pula yang menawarkannya lewat jalur perseorangan, meski konstitusi belum memungkinkan. Ada yang serius mengembangkan lewat wacana publik, dan bahkan ada yang berani menawarkan diri lewat iklan televisi.
Tentu saja fenomena ini adalah lumrah semata dalam sistem demokrasi. Siapa saja berhak untuk menjadi pemimpin. Boleh secara terang-terangan, tidak pula dilarang yang menempuh jalan "ketimuran". Boleh memakai kalkulasi yang matang, dan tidak ada halangan untuk sekedar menunjukkan berani maju (agak bonek). Semuanya adalah bunga-bunga yang menyemarakkan demokrasi kita.
Kita bersetuju bahwa regenerasi adalah penting dan hal yang niscaya. Regenerasi adalah jalan untuk memastikan kontinuitas perubahan dan kemajuan. Tanpa regenerasi, kita akan menghadapi gejala degenerasi kepemimpinan bangsa, dan bangsa ini akan tercebur ke dalam gerontokrasi: kepemimpinan oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Tentu saja hal demikian harus dihindarkan.
Dalam konteks kepemimpinan bangsa, hemat saya yang dibutuhkan adalah siapa yang terbaik: yang paling memadai kapabilitas, integritas dan akseptabilitasnya di hadapan rakyat. Itulah pemimpin yang mampu dan berkemampuan. Itulah pemimpin yang sanggup dan berkesanggupan mengemban tugas sebagai lokomotif kemajuan bangsa. Itulah tokoh yang layak menjadi inspirator, motivator dan sekaligus motor bagi perubahan menuju bangsa yang bermartabat: kemiskinan berkurang, pengangguran mengecil, pemerintahan yang bersih dan melayani, integrasi nasional semakin kokoh, keamanan terjaga, ketertiban publik membaik, akses pendidikan dan kesehatan yang meluas, dan sebagainya.
Memilih pemimpin bukan kontestasi umur: siapa yang paling muda atau siapa yang paling tua. Menemukan pemimpin adalah perkara siapa yang paling mampu dan terbukti mampu, dengan ukuran-ukuran yang jelas dan nyata. Bukan slogan dan kata-kata kosong.
Bagi kaum muda, falsafah ojo nggege mongso barangkali ada gunanya. Tidak patut untuk memaksakan diri, sebelum masanya tiba. Segala sesuatu ada masa dan musimnya. Setiap generasi ada waktunya. Sembari mempersiapkan diri menjadi generasi pelanjut yang lebih baik, kaum muda perlu melihat dengan jernih siapa tokoh-tokoh yang berpikir serius untuk mendorong regenerasi dan menyiapkan jalan bagi tampilnya tokoh-tokoh baru.
Pernyataan SBY pada acara HIPMI, agar generasi muda, termasuk pada pengusaha muda, mempersiapkan diri untuk menjadi para pemimpin bangsa, adalah tantangan dan sekaligus isyarat positif bahwa kereta regenerasi sedang berjalan. Inilah yang harus direspons dengan persiapan yang sungguh-sungguh, baik oleh parpol, ormas, kampus, LSM, dan sebagainya, untuk memikul tanggung jawab dan tugas sejarah yang besar, yakni regenerasi kepemimpinan bangsa. Kapankah itu? Tergantung kesiapan generasi muda dan kepercayaan politik rakyat. Hemat saya, 2014 akan terjadi regenerasi yang besar-besaran. Wallahu a'lam


[Kembali]

Senin, 04 Agustus 2008

Generasi (Berpikiran) Muda

Oleh Benny Susetyo
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008.

Wacana presiden dari kaum muda mulai merebak dalam Pemilu 2009. ”Pertarungan” generasi muda dan tua mulai dapat dilihat. Pengertian muda seperti apakah yang seharusnya memimpin Indonesia?
Pemimpin dari kalangan muda memang sedang menjadi tren. Mereka berasal dari generasi baru dan dianggap memiliki visi perubahan yang bisa diandalkan. Dmitry Medvedev yang memimpin Rusia dan Barack Obama yang fenomenal di Amerika Serikat bisa menjadi cermin kepemimpinan kaum muda tidak diragukan. Soekarno-Hatta juga telah membuktikan dirinya memimpin Indonesia dalam usia relatif muda. Reformasi 1998 juga digerakkan generasi muda.
Namun, pengertian muda seperti apa yang harus memimpin Indonesia? Pertanyaan ini untuk menegaskan agar kita tidak terjebak figur dan penampakan fisik. Kualitas pemimpin bisa dilihat dari visi dan orientasinya untuk memajukan bangsa dengan pikiran-pikiran segar dan aktual serta memihak rakyat.
Indonesia memerlukan pemimpin yang memahami akar masalah kemerosotan bangsa dan mencarikan pemecahannya bukan hanya dalam perilaku, tetapi juga tindakan.
Generasi tua yang umumnya berwatak konvensional terbukti ”kesulitan” membawa bangsa ini keluar dari permasalahan. Perubahan yang diharapkan tak kunjung datang akibat ”pikiran tua” yang datang dari generasi tua.

Berpikiran mundur
Indonesia memerlukan pemimpin muda dalam pengertian yang substansial. Mereka yang berpikir ”muda” dan tidak alergi terhadap perubahan serta memiliki komitmen dan visi yang tangguh membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Mereka yang mampu berkata go to hell with your aid terhadap setiap pola komunikasi yang melahirkan penindasan dan ketergantungan.
”Muda” juga dalam pengertian mampu merombak semua sistem yang membelenggu kemajuan Indonesia. Tidak ada ampun untuk KKN dalam bentuk apa pun.
Generasi tua identik sikap konvensional, berpikiran mundur, dan antiperubahan. Sebaliknya, generasi muda penuh semangat dan cenderung menolak kemapanan. Sikap demikian sering melekat pada tubuh manusia secara fisik meski tak selamanya seperti itu.
Harus diperkirakan dengan cermat, tidak sedikit generasi muda yang berpikiran mundur dan generasi tua yang agresif serta kreatif merangsang tumbuhnya perubahan. Maka, jauh lebih penting memasalahkan stagnasi yang dibangun ”pikiran tua”, yang cenderung menghambat perubahan ke arah lebih baik.
Tidak selamanya ”pemikiran tua” mengandung kebijaksanaan dan tidak selamanya pula ”pemikiran muda” mengusung kesembronoan. Kebijaksanaan dan kesembronoan ada dalam setiap pemikiran mana pun. Pengalaman hidup harus selalu dijadikan rujukan berperilaku, tetapi ia bukan untuk menghakimi kehidupan masa lalu lebih benar dan baik daripada sesudahnya.
Krisis multidimensi negeri ini oleh sementara orang diduga akibat banyaknya ”orang tua” dengan ”pikiran-pikiran tua” yang masih bercokol dalam kekuasaan. Mereka umumnya mewujud bukan dalam sosok negarawan, tetapi sekadar politisi. Pemikiran mereka cenderung bagaimana mempertahankan dan merebut kekuasaan berikutnya.
Generasi tua dengan pola pemikiran yang stagnan ini sering memperlambat pemulihan negara dari krisis. Alih-alih demikian, pemikiran ini sudah (sedikit demi sedikit) mentransformasi dalam pemikiran generasi muda kita yang ada di kekuasaan.
Dari kenyataan demikian, sebenarnya pemikiran progresif untuk memperbaiki bangsa inilah yang dibutuhkan. Revolusi kebudayaan dan cara pandang mengelola bangsa ini harus dimulai dengan menciptakan habitus baru dalam berperilaku, tidak peduli dilakukan generasi muda maupun generasi tua.
Jauh lebih penting, mengedepankan pemikiran yang ”muda”. Bila itu harus datang dari ”generasi muda”, tak ada salahnya untuk memulai saat ini juga.


BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institute

[Kembali]

Jumat, 01 Agustus 2008

Seperti Kita Ini Bukan Indonesia...

SOSOK DAN PEMIKIRAN
Oleh Imam Prihadiyoko
Dikutip dari Harian KOMPAS, Sabtu, 26 April 2008.


Mei ini, Indonesia memperingati seabad kebangkitannya. Sebuah pelajaran sejarah yang mengingatkan kepada anak bangsa agar saling peduli dengan sesama anak bangsa. Apalagi, problem kebangsaan, kesejahteraan yang dihadapi masyarakat saat ini, memang menakutkan.
Ada rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena kelaparan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat pascakeruntuhan rezim Orde Baru. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.
Cerita lama rakyat antre minyak semasa era Orde Lama sekarang terjadi lagi. Bahkan, saat sebagian rakyat kesulitan menghadapi harga beras yang naik, dan bangsa ini mulai surplus beras, malah ada ide untuk mengekspornya.
”Sepertinya, keindonesiaan kita ini bukan Indonesia,” ujar guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bambang Shergi Laksmono di Kampus UI Depok, Senin (21/4).
Bambang, sosiolog yang masa kecilnya di berbagai negara, menuturkan, menyejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud. Tak heran kalau di antara rakyat mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa bernegara jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara.
Apa mungkin karena banyak orang Indonesia yang tidak mengenal lagi keindonesiaan sehingga tidak muncul kepedulian sosial terhadap sesama warga bangsa? Berikut perbincangan itu:

Apa ingatan masa kecil Anda tentang kebangsaan Indonesia?
Sewaktu kecil, rasanya saya bangga sekali dengan Indonesia. Saya tidak pernah merasa minder mengaku berasal dari Indonesia. Tak heran kalau saya merasa sama dan sejajar dengan bangsa lain. Sewaktu kecil, saya tinggal di beberapa negara karena mengikuti tugas orangtua.
Saya juga sedih, kok kita dengan Malaysia saja rasanya sudah tidak dihargai lagi. Padahal, dulu orang Malaysia sangat menghormati orang Indonesia. Bahkan, banyak guru dari Indonesia yang ikut mendidik warga Malaysia. Sekarang tampaknya kita yang harus belajar dari berbagai kemajuan yang diraih Malaysia.
Bambang adalah sosok yang tak banyak berbicara. Kalau berbicara, gayanya tenang, hampir tak ada ledakan emosi yang terlontar. Sempat gundah dengan kondisi rakyat Indonesia yang saat ini seperti tak punya pegangan, ia juga sedih melihat di negara tetangga pun tidak sedikit warga negara Indonesia yang dihina dan dikejar-kejar, seperti penjahat.
Bambang juga gundah dengan lulusan perguruan tinggi yang menurut dia juga lemah tentang pengetahuan kewilayahan Indonesia.
Lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak mengenal lagi wilayah Indonesia, apalagi tentang keindonesiaan. Bisa dibayangkan bagaimana menyedihkannya masyarakat kita kalau kaum cendekiawannya saja tak mengenal wilayah Indonesia. Bagaimana mungkin mereka bangga dengan Indonesia? Mungkin karena mahasiswa hanya dibekali pemahaman konseptual yang sering kali tidak menjejakkan kakinya di bumi. Mereka lebih ngawang-awang dan sering kali tidak melihat kenyataan. Ini mungkin disebabkan perspektif ilmu yang dikembangkan kita selama ini tidak cukup menuntun mahasiswa kita untuk mengenal kondisi Indonesia yang sangat luas.
Komposisi mahasiswa dan sarjana juga tak mencerminkan perwakilan daerah dan budaya yang memungkinkan saling mengenal daerah di negeri ini. Kita tidak seperti orang Singapura yang konsisten mengembangkan pengetahuan regional ASEAN- Asia dan lintas lingkaran yang menjangkau kawasan dunia, di mana negaranya menjadi sentral kekuatan keuangan dunia. Saya kira mestinya, dimensi kewilayahan, khususnya yang strategik, harus masuk dalam perhatian seluruh anak bangsa.
Daerah perbatasan, daerah pertambangan utama, daerah isolasi, dan daerah pusat pertumbuhan harusnya lebih sering dibicarakan secara holistik dan menjadi salah satu kompetensi lulusan pendidikan di Indonesia, apalagi jika dari FISIP. Syukur wawasan kewilayahan ini minimal bisa mencakup wawasan geopolitik Indonesia, Malaysia, Singapura, ASEAN, dan seterusnya Asia-Australia.
Pada tahun 1992, Bambang sudah menjadi Ketua Jurusan (sekarang disebut Departemen) Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ia juga merintis pengembangan jurusan kesejahteraan dengan mendirikan program Pascasarjana Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial yang pertama di Indonesia.

Terkait dengan kondisi bangsa, apa yang diharapkan rakyat?
Rakyat saat ini sebenarnya berharap proses demokratisasi berjalan dengan cepat. Bukan demokrasinya yang dinantikan, tetapi hasil dari pelaksanaan demokrasi itu, yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat. Sayangnya, proses demokrasi yang melewati masa pemilihan presiden langsung pun tidak menawarkan solusi yang diharapkan. Rakyat yang sudah disodori pilkada pun belum merasakan keuntungan dari proses demokrasi itu. Proses demokrasi baru dinikmati elite. Tidak heran kalau rakyat saat ini banyak yang menanti dengan tidak sabar atas hasil demokrasi yang dilaksanakan sekarang.
Rakyat saat ini cenderung tak peduli dengan proses demokrasi yang ada. Ini secara langsung bisa dilihat dari jumlah rakyat yang apatis pada pilkada terus bertambah. Ini semua karena rakyat tidak merasakan buah demokrasi, yaitu kesejahteraan. Banyak rakyat yang merasakan hidupnya seperti tikus yang mati di lumbung padi.

Mengapa demokrasi kita belum menyejahterakan rakyat?
Dalam sistem demokrasi yang dibangun dengan dasar kepartaian saat ini, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, partai harus bisa menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai agenda berbangsa dan bernegara. Jika partai tidak peduli, bukan saja kehidupan rakyat kian terpuruk, tetapi kelangsungan kehidupan bangsa ini juga akan terancam.
Secara ideal, konsolidasi demokrasi harus berjalan seiring dengan konsolidasi ekonomi sehingga kesejahteraan terwujud.

Imam Prihadiyoko

Kembali

Indonesia Masih Terpuruk

Indonesia Membutuhkan Pemimpin yang Kuat dan Tegas
Dikutip dari Harian KOMPAS, Minggu, 11 Mei 2008.

BANDUNG, KOMPAS - Seratus tahun setelah Kebangkitan Nasional tahun 1908, Indonesia dinilai belum bangkit dari keterpurukan. Ini terbukti dengan kegagalan bangsa Indonesia menegakkan keadilan sosial dan demokrasi.Ahli filsafat Franz Magnis-Suseno SJ mengemukakan itu pada seminar nasional Satu Abad Kebangkitan Nasional Indonesia ”Inteligensia Indonesia” di Universitas Parahyangan, Bandung, Sabtu (10/5). Menurut Franz, keberadaan bangsa Indonesia kini cenderung mengalami stagnasi terutama di bidang demokrasi dan keadilan sosial.”Bangsa Indonesia harus menghadapi krisis pangan dan bahan bakar minyak (BBM). Ironisnya negara ini begitu kaya akan sumber daya alam. Ditambah pula kini kebebasan beragama di Indonesia semakin mengalami kemunduran,” ujar Franz. Menurut Franz, berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini berakar pada ketidakkuatan pemimpin bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Indonesia dinilai membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan tegas.Dalam kemunduranSementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom berpendapat bangsa Indonesia saat ini juga berada dalam kemunduran. Pada saat negara-negara Asia Tenggara lain menempati daya saing global pada posisi di atas 48 dari 131 negara, Indonesia hanya mampu bertengger di nomor 54, atau 23 posisi di bawah Malaysia. Miranda menilai, keterpurukan ini berakar pada ketiadaan visi bangsa yang dirumuskan tanpa mengedepankan aspek ilmu pengetahuan yang inovatif. ”Singapura membasiskan visi bangsanya pada masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, begitu pula Malaysia yang mendasarkan ekonominya pada ilmu pengetahuan,” kata Miranda.Miranda mengutip Yayasan Indonesia Forum 2007, dikatakan visi Indonesia 2030 menjadi negara unggul dalam pengelolaan kekayaan alam, ditopang dengan pencapaian menjadi lima negara besar dalam kekuatan perekonomian dunia, dan mewujudkan kualitas hidup modern yang merata. Menurut Miranda, visi itu terlalu muluk dan tidak nyata karena Indonesia menargetkan tanpa mengukur kemampuan diri. ”Indonesia tidak memiliki dasar apa-apa, seperti ilmu pengetahuan yang harus dijadikan fondasi bangsa, tetapi menargetkan sesuatu yang begitu tinggi,” kata Miranda.Guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bambang Sugiharto mengemukakan, di tengah kekisruhan di bidang politik ekonomi dan keadilan sosial seperti ini, Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan. Tantangan itu antara lain tantangan globalisasi, tantangan keapatisan masyarakat terhadap penegakan hukum internal, dan tantangan keegoisan setiap individu.Franz menambahkan, tantangan Indonesia lebih mengarah kepada tantangan kepicikan rasa kedaerahan, budaya hedonis, dan eksklusivisme keagamaan. Bambang dan Franz berpendapat, masalah stagnasi bangsa pasca seabad Kebangkitan Nasional ini dapat dipecahkan dengan adanya komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menegakkan demokrasi dan keadilan sosial, melalui pengembangan sikap toleransi antarindividu. (A01/A15)