Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008.
Wacana presiden dari kaum muda mulai merebak dalam Pemilu 2009. ”Pertarungan” generasi muda dan tua mulai dapat dilihat. Pengertian muda seperti apakah yang seharusnya memimpin Indonesia?
Pemimpin dari kalangan muda memang sedang menjadi tren. Mereka berasal dari generasi baru dan dianggap memiliki visi perubahan yang bisa diandalkan. Dmitry Medvedev yang memimpin Rusia dan Barack Obama yang fenomenal di Amerika Serikat bisa menjadi cermin kepemimpinan kaum muda tidak diragukan. Soekarno-Hatta juga telah membuktikan dirinya memimpin Indonesia dalam usia relatif muda. Reformasi 1998 juga digerakkan generasi muda.
Namun, pengertian muda seperti apa yang harus memimpin Indonesia? Pertanyaan ini untuk menegaskan agar kita tidak terjebak figur dan penampakan fisik. Kualitas pemimpin bisa dilihat dari visi dan orientasinya untuk memajukan bangsa dengan pikiran-pikiran segar dan aktual serta memihak rakyat.
Indonesia memerlukan pemimpin yang memahami akar masalah kemerosotan bangsa dan mencarikan pemecahannya bukan hanya dalam perilaku, tetapi juga tindakan.
Generasi tua yang umumnya berwatak konvensional terbukti ”kesulitan” membawa bangsa ini keluar dari permasalahan. Perubahan yang diharapkan tak kunjung datang akibat ”pikiran tua” yang datang dari generasi tua.
Berpikiran mundur
Indonesia memerlukan pemimpin muda dalam pengertian yang substansial. Mereka yang berpikir ”muda” dan tidak alergi terhadap perubahan serta memiliki komitmen dan visi yang tangguh membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Mereka yang mampu berkata go to hell with your aid terhadap setiap pola komunikasi yang melahirkan penindasan dan ketergantungan.
”Muda” juga dalam pengertian mampu merombak semua sistem yang membelenggu kemajuan Indonesia. Tidak ada ampun untuk KKN dalam bentuk apa pun.
Generasi tua identik sikap konvensional, berpikiran mundur, dan antiperubahan. Sebaliknya, generasi muda penuh semangat dan cenderung menolak kemapanan. Sikap demikian sering melekat pada tubuh manusia secara fisik meski tak selamanya seperti itu.
Harus diperkirakan dengan cermat, tidak sedikit generasi muda yang berpikiran mundur dan generasi tua yang agresif serta kreatif merangsang tumbuhnya perubahan. Maka, jauh lebih penting memasalahkan stagnasi yang dibangun ”pikiran tua”, yang cenderung menghambat perubahan ke arah lebih baik.
Tidak selamanya ”pemikiran tua” mengandung kebijaksanaan dan tidak selamanya pula ”pemikiran muda” mengusung kesembronoan. Kebijaksanaan dan kesembronoan ada dalam setiap pemikiran mana pun. Pengalaman hidup harus selalu dijadikan rujukan berperilaku, tetapi ia bukan untuk menghakimi kehidupan masa lalu lebih benar dan baik daripada sesudahnya.
Krisis multidimensi negeri ini oleh sementara orang diduga akibat banyaknya ”orang tua” dengan ”pikiran-pikiran tua” yang masih bercokol dalam kekuasaan. Mereka umumnya mewujud bukan dalam sosok negarawan, tetapi sekadar politisi. Pemikiran mereka cenderung bagaimana mempertahankan dan merebut kekuasaan berikutnya.
Generasi tua dengan pola pemikiran yang stagnan ini sering memperlambat pemulihan negara dari krisis. Alih-alih demikian, pemikiran ini sudah (sedikit demi sedikit) mentransformasi dalam pemikiran generasi muda kita yang ada di kekuasaan.
Dari kenyataan demikian, sebenarnya pemikiran progresif untuk memperbaiki bangsa inilah yang dibutuhkan. Revolusi kebudayaan dan cara pandang mengelola bangsa ini harus dimulai dengan menciptakan habitus baru dalam berperilaku, tidak peduli dilakukan generasi muda maupun generasi tua.
Jauh lebih penting, mengedepankan pemikiran yang ”muda”. Bila itu harus datang dari ”generasi muda”, tak ada salahnya untuk memulai saat ini juga.
BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar