Evi Fitriani
Tanggal 8 Agustus lalu kita menyaksikan upacara megah pembukaan Olimpiade Beijing 2008 dihadiri ribuan atlet dan sekitar 80 pemimpin dunia serta disaksikan ratusan juta penonton di 220 negara dan teritori. Pertunjukan spektakuler menonjolkan kekayaan budaya sepanjang 5.000 tahun dengan teknologi mutakhir memperlihatkan China bukan negara proletar lagi.
Sebagai tuan rumah olimpiade, China tidak hanya mempersiapkan atlet-atlet terbaiknya, tetapi juga memodernkan teknologinya serta membenahi sektor budaya dan lingkungan hidup. Melalui Olimpiade Beijing ini, China ingin memperkuat dan menunjukkan soft power-nya kepada dunia.
Soft power adalah kemampuan untuk membuat pihak lain menjalankan apa yang kita inginkan tanpa kita harus menggunakan kekerasan atau membayar melainkan melalui daya tarik (Nye, 2008). Berbeda dengan hard power, seperti kekuatan militer, dalam soft power pihak lain melakukan apa yang kita inginkan karena keinginan dari dirinya sendiri berkat kemampuan nonkekerasan yang kita miliki.
Dalam hubungan internasional, kekuatan jenis ini sudah lama dipraktikkan, tetapi baru menjadi sorotan sejak Joseph Nye Jr meluncurkan bukunya, Soft Power, tahun 2004. Soft power suatu negara berasal dari kekayaan budaya, nilai-nilai dan kebijakannya. Negara yang sudah kuat dalam ekonomi dan militer umumnya mengejar soft power, kecuali AS di bawah Presiden Bush yang masih saja mengandalkan hard power.
Motivasi utama
Mengapa negara berlomba menjadi penyelenggara olimpiade sampai Komite Olimpiade Internasional (IOC) harus mentenderkan pemenangnya? Olimpiade memang bisnis yang menguntungkan, tetapi soft power menjadi motivasi utama. Olimpiade adalah peristiwa besar dunia yang membawa prestise bagi tuan rumah.
Transformasi ekonomi China sejak tahun 1979 telah menjadikan China sebagai kekuatan ekonomi baru dengan pertumbuhan ekonomi menakjubkan dalam dua dekade terakhir. Selanjutnya China memodernisasikan kekuatan militernya dan membangun blue navy. Setelah diakui sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan militer dunia, kini saatnya China memperlihatkan kekayaan budaya dan kehebatan sumber daya manusianya. Para pemimpinnya juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa China mampu mengatasi dampak negatif pembangunan ekonomi dan militernya dengan menjadi penyelenggara olimpiade yang ramah lingkungan dan menghormati hak asasi manusia yang menjadi pedoman dalam Olympiade Charter.
Untuk memenuhi persyaratan olimpiade—dan untuk menjawab kritik dunia atas kehancuran lingkungan—China menghabiskan sekitar 13 miliar yuan untuk pembangunan infrastruktur olimpiade yang ramah lingkungan. Otoritas China juga merelokasi industri, membatasi kendaraan bermotor, meremajakan bus umum, dan menutup pabrik-pabrik tertentu selama olimpiade berlangsung guna mengatasi polusi udara di Beijing.
Kehadiran begitu banyak pemimpin politik juga memberi kesan China mampu menangani kompleksitas berbagai dimensi hubungan—politik, ekonomi, budaya, dan olahraga—sekaligus dengan baik. Bagi para pemimpin negara dan pemerintahan, kehadiran mereka di arena olimpiade bukan hanya untuk memberi dukungan kepada para atletnya, tetapi ada efek diplomasi yang ingin di timbulkan. Pertama memperlihatkan kepada dunia hubungan baiknya dengan China; hubungan politik negara tersebut dengan Beijing tidak terganggu protes terhadap praktik HAM di China, termasuk pendudukan China di Tibet. Kedua, memperlihatkan kepada China bahwa negara tersebut mendukung China sebagai tuan rumah olimpiade walau ada ancaman keamanan dari kelompok teroris. Dua efek ini memang diharapkan China sebagai bukti soft power-nya.
Kekayaan budaya
Selain pesta olahraga, Olimpiade Beijing juga sebagai pameran kekayaan budaya. Setiap tahun, sejak 2003, diselenggarakan Olympic Cultural Festival yang bertujuan memperkenalkan keunikan budaya China kepada dunia. Selama olimpiade, para atlet, ofisial, penonton dan wartawan juga disuguhi berbagai kegiatan seni. Situs web resmi olimpade memberikan informasi tentang museum, pameran, tempat-tempat minum teh dengan menu spesial warisan para raja China, dan pertunjukan Opera Peking, akrobat, bela diri, dan sebagainya.
Olimpiade Beijing yang berjalan lancar membuat China menjadi tuan rumah yang sukses karena berhasil membiayai dan mengelola hajatan besar yang pasti luar biasa rumitnya dari sisi logistik, keamanan, dan teknis. Ini akan membuktikan kemampuan teknologi dan sumber daya manusia China yang tidak kalah dengan negara-negara maju. Dengan berhasilnya para atlet China mengumpulkan medali emas terbanyak, menggeser Amerika Serikat, prestise China akan berganda: sukses dalam penyelenggaraan dan prestasi olahraga. Dengan keberhasilan menjadi tuan rumah olimpiade, China menampilkan diri sebagai negara yang kuat dan mampu memimpin, tetapi dengan wajah baru yang berbudaya dan bersahabat terhadap dunia luar.
Olimpiade Beijing bukanlah tujuan utama; tetapi bagaimana dunia melihat China setelah 2008. China berharap posisi dan prestisenya di dunia akan meningkat yang berarti kemampuannya untuk memengaruhi negara lain—tanpa menggunakan tekanan politik atau ekonomi— juga akan lebih besar.
Selamat mengagumi kekayaan serta kemampuan China.
Evi Fitriani Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Kandidat Doktor di Australian National University
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar