Jumat, 08 Agustus 2008

Indonesia Mau ke Mana?

EKONOMI
Oleh PRABOWO SUBIANTO
Diunduh dari Harian KOMPAS, 11 Juli 2008.

Laissez-faire menciptakan sedikit orang kaya, banyak orang miskin. Tanpa laissez-faire, di Amerika Latin kemiskinan berkurang, ekonomi tumbuh.
Orang terkaya di dunia, Carlos Slim Helu (68), berasal dari Meksiko. Koran The Wall Street Journal, Agustus tahun lalu, melaporkan kekayaan raja telekomunikasi dari negeri sombrero itu sekitar 60 miliar dollar AS. Ia menyalip investor sukses Wall Street, Warren Buffett, bahkan pemilik Microsoft, Bill Gates, yang sudah 11 tahun menyandang gelar orang terkaya dunia. Kekayaan Bill Gates dikabarkan 58 miliar dollar AS, masih di bawah kekayaan Slim Helu.
Majalah Fortune yang menobatkan Slim Helu sebagai orang terkaya dunia tahun lalu mendeskripsikan apa saja yang dilakukan di Meksiko selalu bersinggungan dengan bisnisnya. Mulai menarik uang tunai di ATM atau bank, minum kopi dan merokok di kafe, mengendarai mobil, naik sepeda, naik kereta api, pesawat terbang, hotel, apalagi telepon. Telefonos de Mexico (Telmex) yang mengontrol 92 persen sambungan telepon negeri itu milik Slim Helu. Perusahaannya yang lain, Telcel, menguasai 70 persen pasar telepon seluler.
Ayah Carlos, Julian Slim, pemuda Maronites Lebanon, merantau ke Meksiko pada 1902 karena menghindari wajib militer Turki-Ottoman. Julian mulai dengan bisnis jual-beli rumah. Tetapi adalah sang anak, Carlos Slim Helu, yang membangun kerajaan bisnis ini.
Ia masih berusia 13 tahun saat ayahnya meninggal. Sekarang ia memiliki sedikitnya 200 perusahaan dengan nilai setara 7 persen produk domestik bruto Meksiko atau sepertiga Mexican Bolsa, bursa saham Meksiko. Menakjubkan.
Naiknya Slim ke puncak dimulai tahun 1988 ketika temannya, Carlos Salinas de Gortari, menjadi Presiden Meksiko. Salinas, teknokrat tamatan Universitas Harvard, ingin memodernisasi negerinya dengan meniru cara Profesor Milton Friedman dari Universitas Chicago menangani ekonomi Cile pada zaman Jenderal Augusto Pinochet, yaitu dengan jalan kapitalisme atau laissez-faire.
Salah satu langkahnya adalah privatisasi BUMN. Ratusan BUMN dilego Salinas dan Slim Helu menjadi orang paling beruntung menjadi pemilik baru BUMN itu, terutama yang bergerak di bidang telekomunikasi.
Pada awal gebrakan Salinas, dalam daftar orang kaya majalah bisnis Forbes cuma ada dua nama Meksiko. Pada 1994, artinya setelah enam tahun masa jabatan Salinas, jumlah itu meloncat menjadi 24 nama, salah satunya Slim Helu.
Negeri dengan 100 juta penduduk ini memang tumbuh. Menurut Forbes 13 April 2007, pendapatan per kapita Meksiko 6.800 dollar AS, jauh di atas Indonesia. Namun, separuh penduduk Meksiko hidup dalam kemiskinan, 20 persen malah hidup dengan kurang dari 2 dollar AS per hari, sementara yang kaya hidup setara kelompok jetset dunia di New York, London, Paris, dan Roma.
Itu pun harus dicatat banyak orang miskin Meksiko diselamatkan oleh lapangan kerja di Amerika Serikat, meski harus menjadi imigran gelap. Para pekerja migran itu setiap tahun memasukkan devisa 20 juta dollar AS ke Meksiko, terbesar kedua setelah ekspor minyak.
Bukti pembagian kue amat timpang bisa diketahui dari tingginya koefisien gini negeri itu seperti dilaporkan Program Pembangunan PBB (UNDP), yaitu 53,1 (tahun 2003), 46,1 (2004), 50,9 (2005). Angka di atas 40 menunjukkan ketimpangan yang jelek.

Orang miskin berkurang
Di sinilah masalahnya. Dalam negara dengan sistem kapitalisme, orang kaya memang tumbuh, tetapi orang miskin tumbuh jauh lebih cepat. Itu terjadi di Meksiko, Hongkong, Afrika Selatan, dan Indonesia. Bahkan juga di Amerika Serikat, negeri mapan dengan pendapatan per kapita 50.000 dollar AS.
Paul Krugman, guru besar ekonomi Universitas Princeton dan kolumnis The New York Times, mengkaji soal itu di dalam bukunya The Conscience of A Liberal, terbit akhir tahun lalu.
Menurut Krugman, selama tiga dekade kekayaan 0,01 persen orang terkaya AS bertambah 7 kali, sementara masyarakat lain hampir tak berubah, malah berkurang karena digerogoti inflasi. Tahun 1970-an, eksekutif puncak berpenghasilan 30 kali rata-rata pendapatan pegawainya. Sekarang lebih dari 300 kali.
Kecenderungan yang sama terjadi di Indonesia. Kalau diperhatikan data UNDP, terlihat koefisien gini kita merambat naik, menandakan proses ketimpangan ekonomi sedang terjadi. Kenaikan harga BBM yang lalu menyebabkan ketimpangan ekonomi memburuk.
Sementara itu, sejumlah negara Amerika Latin telah menyingkirkan laissez-faire, seperti Venezuela, Ekuador, Argentina, dan Bolivia, dan mereka mengalami sukses dalam mengurangi kemiskinan. Ekonomi Venezuela tumbuh 10 persen per tahun, dengan kemiskinan berkurang signifikan.
Argentina bukan saja tumbuh 8 persen per tahun, tetapi keluar dari krisis ekonomi 2002, sekalian berhasil menghapuskan 8 juta orang miskin di negerinya (lihat artikel Mark Weisbrot, ”Doing it Their Own Way”, International Herald Tribune, 28 Desember 2006).
Apakah sistem ekonomi pasar salah? Patrick J Buchanan, intelektual konservatif, dua kali menjadi kandidat presiden Amerika Serikat, berkata, ”Tidak. Yang salah kalau kita menyembahnya.”
Dan itu, kata Buchanan, terjadi di Amerika Serikat sejak zaman Presiden Ronald Reagan, menyebabkan industri hengkang, buruh menganggur, neraca perdagangan defisit, Amerika Serikat hidup dari menumpuk utang, lalu kini dilanda krisis dan terancam terpecah-belah (Patrick J Buchanan dalam Day of Reckoning, St Martin Press, New York, 2007).
Bagi Buchanan, sistem apa pun harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Itulah, katanya, yang dilakukan Bapak Pendiri Amerika (George Washington, Hamilton, dan Madison), menyebabkan negeri itu jadi sebesar sekarang. Kini itu dirusak perdagangan bebas. Pertanyaan: Indonesia mau ke mana?

Prabowo Subianto
Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

[Kembali]

Tidak ada komentar: