Islam sebagai rujukan nilai seharusnya jadi bentuk strategi besar, penjaga moral dan kekuatan bagi bangsa.
Oleh Much Fatchurochman
Oleh Much Fatchurochman
Dikutip dari Rubrik Sosial Budaya di Harian Jurnal Nasional, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 05.
SELURUH elemen bangsa perlu memperkuat visi kebangsaan yang dinilai semakin surut, akibat banyak pihak terjebak pada kepentingan masing-masing. Karena itu, sudah saatnya semua elemen bangsa menyadari kebutuhan agenda besar yaitu melanjutkan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan dewasa ini.
"Saya khawatir, vision nation melemah. Sekarang merangkak lagi, politik masih mencari kondisi ideal dengan banyaknya partai, ekonomi terpuruk butuh pemulihan. Orang butuh ruang berlindung yang aman dalam negara, bukan lagi mempertajam konflik kepentingan," kata Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Komaruddin Hidayat dalam orasi budaya bertema "Islam Kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia" di Kompleks Penerbit Kanisius yang digagas oleh Forum Diskusi Impulse Yogyakarta, Selasa (29/7) malam.
Selain itu, Komaruddin juga berpendapat bahwa masih banyak konflik berlatar belakang agama, berbagai persoalan sosial dan masalah-masalah di wilayah politik yang cenderung tidak sehat sehingga menyedot konsentrasi energi partai politik juga energi ekonomi nasional.
Sebaliknya, dalam dunia sosial politik dengan berbagai latar budaya yang ada justru membutuhkan kondisi riil partai politik yang sehat dan kuat. Di berbagai negara Asia, seperti Singapura, Malaysia, Thailand juga India mengalami perkembangan pesat dalam kehidupan sosial budaya dan politik, sedangkan Indonesia masih dalam tahapan merangkak.
"Beberapa negara Asia justru sudah lebih stabil politiknya sehingga mampu fokus pada program pendidikan yang lebih bermanfaat bagi kehidupan. Indonesia hingga kini masih harus melakukan konsolidasi politik," katanya.
Menurut Komaruddin, almarhum cendekiawan muslim terkemuka, Prof Dr Nurcholis Madjid, sesungguhnya sudah memberikan jalan pengetahuan epistemologis bagi relasi agama seperti Islam vis a vis negara dalam soal pilihan tak terjebak pada politik kekuasaan yang merusak sendi-sendi berdemokrasi dalam negara. Salah satu peluang tersebut, kata Komaruddin, ada pada kemampuan organisasi keagamaan yang besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam artikulasi peran politik, menyumbangkan kader terbaiknya untuk kejayaan bangsa. "Islam sebagai rujukan nilai seharusnya jadi bentuk strategi besar, penjaga moral dan kekuatan bagi bangsa. Sekarang memang masih menuju proses, belum sepenuhnya jadi rujukan nilai," ujarnya.
Memberikan pandangan atas gagasan dari Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto yang melansir pemikiran politik dalam bentuk buku yaitu "Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik, Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur", Komaruddin menyebutkan bahwa Islam sebagai sumber nilai memang memberi inspirasi bagi praktik pemerintahan. "Buku ini membawa optimisme. Gagasan multikultural yang dibangun membawa warga dapat hidup berdampingan," kata cendekiawan muslim itu.
Sementara itu, Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta menjelaskan, buku yang terbit bekerja sama dengan Impulse dan PT Kanisius Yogyakarta berisikan refleksi pemikiran selama memimpin kota Yogyakarta yang multikultural sangat lekat dengan citra Indonesia mini.
Bukunya memuat gagasan reflektif soal dialog, perdebatan, kepemimpinan, dan pilihan demokrasi langsung yang perlu diwarnai nilai-nilai lokal termasuk budaya Islam yang menganjurkan sikap toleran. "Buku ini merekam pelangi di Yogyakarta dengan kemajemukan masyarakatnya. Kota Yogyakarta merupakan masyarakat multikultur dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, agama,ketaatan hukum, aspek sosial banyak memberi pelajaran berharga dalam mewarnai kepemimpinan saya," katanya.
Herry menawarkan gagasan partai politik yang perlu dalam mengusung kader terbaiknya untuk duduk di jajaran eksekutif atau legislatif, bukanlah mengejar kekuasaan sebagai previlage (keistimewaan), tetapi justru perlu mewakafkan kader terbaik untuk dimiliki semua.
"Perlu ada sikap ikhlas dan rendah hati menyerahkan kader terbaiknya menuju puncak kekuasaan. Kepemimpinan harus mengabdikan diri bagi bangsa, bukan dikerdilkan hanya untuk kepentingan partai," katanya.
"Saya khawatir, vision nation melemah. Sekarang merangkak lagi, politik masih mencari kondisi ideal dengan banyaknya partai, ekonomi terpuruk butuh pemulihan. Orang butuh ruang berlindung yang aman dalam negara, bukan lagi mempertajam konflik kepentingan," kata Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Komaruddin Hidayat dalam orasi budaya bertema "Islam Kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia" di Kompleks Penerbit Kanisius yang digagas oleh Forum Diskusi Impulse Yogyakarta, Selasa (29/7) malam.
Selain itu, Komaruddin juga berpendapat bahwa masih banyak konflik berlatar belakang agama, berbagai persoalan sosial dan masalah-masalah di wilayah politik yang cenderung tidak sehat sehingga menyedot konsentrasi energi partai politik juga energi ekonomi nasional.
Sebaliknya, dalam dunia sosial politik dengan berbagai latar budaya yang ada justru membutuhkan kondisi riil partai politik yang sehat dan kuat. Di berbagai negara Asia, seperti Singapura, Malaysia, Thailand juga India mengalami perkembangan pesat dalam kehidupan sosial budaya dan politik, sedangkan Indonesia masih dalam tahapan merangkak.
"Beberapa negara Asia justru sudah lebih stabil politiknya sehingga mampu fokus pada program pendidikan yang lebih bermanfaat bagi kehidupan. Indonesia hingga kini masih harus melakukan konsolidasi politik," katanya.
Menurut Komaruddin, almarhum cendekiawan muslim terkemuka, Prof Dr Nurcholis Madjid, sesungguhnya sudah memberikan jalan pengetahuan epistemologis bagi relasi agama seperti Islam vis a vis negara dalam soal pilihan tak terjebak pada politik kekuasaan yang merusak sendi-sendi berdemokrasi dalam negara. Salah satu peluang tersebut, kata Komaruddin, ada pada kemampuan organisasi keagamaan yang besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam artikulasi peran politik, menyumbangkan kader terbaiknya untuk kejayaan bangsa. "Islam sebagai rujukan nilai seharusnya jadi bentuk strategi besar, penjaga moral dan kekuatan bagi bangsa. Sekarang memang masih menuju proses, belum sepenuhnya jadi rujukan nilai," ujarnya.
Memberikan pandangan atas gagasan dari Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto yang melansir pemikiran politik dalam bentuk buku yaitu "Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik, Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur", Komaruddin menyebutkan bahwa Islam sebagai sumber nilai memang memberi inspirasi bagi praktik pemerintahan. "Buku ini membawa optimisme. Gagasan multikultural yang dibangun membawa warga dapat hidup berdampingan," kata cendekiawan muslim itu.
Sementara itu, Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta menjelaskan, buku yang terbit bekerja sama dengan Impulse dan PT Kanisius Yogyakarta berisikan refleksi pemikiran selama memimpin kota Yogyakarta yang multikultural sangat lekat dengan citra Indonesia mini.
Bukunya memuat gagasan reflektif soal dialog, perdebatan, kepemimpinan, dan pilihan demokrasi langsung yang perlu diwarnai nilai-nilai lokal termasuk budaya Islam yang menganjurkan sikap toleran. "Buku ini merekam pelangi di Yogyakarta dengan kemajemukan masyarakatnya. Kota Yogyakarta merupakan masyarakat multikultur dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, agama,ketaatan hukum, aspek sosial banyak memberi pelajaran berharga dalam mewarnai kepemimpinan saya," katanya.
Herry menawarkan gagasan partai politik yang perlu dalam mengusung kader terbaiknya untuk duduk di jajaran eksekutif atau legislatif, bukanlah mengejar kekuasaan sebagai previlage (keistimewaan), tetapi justru perlu mewakafkan kader terbaik untuk dimiliki semua.
"Perlu ada sikap ikhlas dan rendah hati menyerahkan kader terbaiknya menuju puncak kekuasaan. Kepemimpinan harus mengabdikan diri bagi bangsa, bukan dikerdilkan hanya untuk kepentingan partai," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar