Jumat, 18 Juli 2008

Visi, dalam Senang maupun Susah

Oleh
Ninok Leksono
Dikutip oleh YRA dari Rubrik IPTEK di Harian KOMPAS, Kamis, 12 Juni 2008 halaman 15.


”Pada tahun 1945 (Arthur C) Clarke mengajukan bahwa satelit geostasioner akan merupakan pemancar ulang ideal bagi komunikasi. Sejak itu, (ide tersebut) merevolusi komunikasi dan peramalan cuaca.” (Saswato R Das, penulis, IHT, 21/3/2008)

Di zaman serba susah seperti sekarang ini, minat untuk hal-hal serius boleh jadi surut. Namun, pesan dari kalangan bisnis justru sebaliknya. Di masa susah, beriklanlah dan berinvestasilah. Itu bisa menjelaskan, mengapa penjualan berbagai hal yang bisa meningkatkan daya saing justru melonjak saat ini.
Ya, justru di masa susah, visi perlu semakin dikembangkan, ide dan keterampilan diasah. Kearifannya adalah agar pada saat keadaan membaik, orang yang tetap mengembangkan diri di masa sulit akan berada dalam posisi lebih baik.
Dalam khazanah ilmu pengetahuan, salah satu sosok yang amat menonjol dalam visi adalah Arthur C Clarke. Tokoh ini telah berpulang tanggal 19 Maret lalu, tetapi masih ada hal bermanfaat yang bisa diwacanakan darinya. Bahkan, kalau sekarang ini orang berpakaian berdasarkan ramalan cuaca atau menggunakan alat global positioning system (GPS) untuk menetapkan arah perjalanan, itu karena jasa Clarke. Adanya satelit komunikasi geostasioner yang memudahkan warga dunia berkomunikasi – seperti disebut dalam kutipan di atas – tidak bisa dilepaskan dari sumbangan pemikiran Clarke.
Satelit yang mulai diwujudkan pada awal tahun 1960-an itu ternyata sudah mulai dipikirkan Clarke ketika ia masih menjadi perwira Angkatan Udara Inggris semasa Perang Dunia II. Tepatnya pada tahun 1945 itulah Clarke mengemukakan bahwa satelit geostasioner – yaitu satelit yang periode orbitnya sama dengan rotasi Bumi atau sekitar 24 jam – akan pas sebagai pemancar ulang komunikasi. Ketika diwujudkan, memang sistem ini merevolusi komunikasi dan peramalan cuaca.
Orang juga bisa mengatakan, kalau tidak dipicu Clarke, bisa jadi tidak ada pendaratan di Bulan. Sebagai penulis fiksi ilmiah, pada tahun 1952 Clarke menulis buku Eksplorasi Ruang Angkasa. Rupanya buku tersebut digunakan oleh pelopor roket, Wernher von Braun, untuk meyakinkan Presiden John F Kennedy bahwa perjalanan ke Bulan merupakan satu hal yang mungkin.

Masa depan teknologi
Clarke lalu dikenal sebagai visioner teknologi karena ramalannya mengenai masa depan teknologi tidak meleset. Visi atau penglihatan atas masa depan yang jauh itu kini bahkan masih sedang diuji lagi.
Tatkala dikunjungi oleh penulis masalah astronomi, Saswato R Das, di Colombo, Sri Lanka, awal tahun ini, Clarke – masih dalam soal eksplorasi angkasa – mengatakan bahwa dalam kurun 50 tahun lagi, ada ribuan orang yang akan terbang ke orbit, lalu ke Bulan, dan benda langit yang lebih jauh (IHT, 21/3).
Hal lain yang juga ia lihat akan muncul di masa depan adalah lift atau elevator angkasa. Ini adalah kabel besar yang akan dipasang untuk menghubungkan Bumi dan antariksa, dan melalui kabel itulah nanti akan dikirim muatan ke wahana antariksa dengan menggunakan kendaraan elektromagnetik.
Clarke mendapatkan kemampuan mengembangkan visi dari kesukaannya membaca fiksi ilmiah, yang menghadirkan cerita-cerita mendebarkan dengan bumbu ilmu pengetahuan.
Seperti dituturkan Das, Clarke dari sejak masa kecil di Inggris barat membaca majalah fiksi ilmiah Amerika sebanyak yan ia bisa jangkau. Clarke mengakui, pengaruh fiksi ilmiah tersebut demikian besar terhadap dirinya.
Bacaan saja mungkin belum cukup karena meramal masa depan teknologi tidak mudah. Akan tetapi, Clarke pun sudah meramal dengan jitu tentang lahirnya komunikasi seluler (mobile) yang akan membuat seseorang tak bisa lagi lepas dari masyarakatnya, apakah dia di tengah samudra atau di pucuk gunung. Dalam majalah Life tahun 1962 yang dijadikan rujukan Das, Clarke juga telah menyinggung adanya perpustakaan elektronik, hal yang kini sudah menjadi kenyataan.

Visi yang menuntun arah
Riwayat Clarke hanyalah sebuah ilustrasi bahwa visi besar bisa menuntun peradaban untuk bergerak menuju ke satu arah yang baik. Di Tanah Air, kita juga masih mendengar adanya tokoh yang memunculkan visi ke depan. Mantan Presiden BJ Habibie pernah menghadirkan visi tentang terbangunnya Jembatan Nusantara yang ditopang oleh pesawat terbang buatan industri dalam negeri. Pakar mikrobiologi yang kini guru besar UI, Pratiwi Sudarmono, pernah menyebutkan keinginan menemukan alternatif antibiotik. Terakhir kita juga mendengar adanya “Visi 2030” yang dikeluarkan oleh satu kelompok peneliti ekonomi.
Memang dewasa ini keadaan negara masih terus diliputi situasi karut-marut dan keterbatasan dana. Kalau sekadar mengikuti keadaan yang ada, boleh jadi riset tentang antariksa, tentang rekayasa genetika, atau nanoteknologi terdengar kurang relevan atau anatematik.
Akan tetapi, generasi masa kini akan menanggung malu besar pada generasi Indonesia 50 tahun ke depan jika tak memunculkan ide besar dari kurun awal abad ke-21 ini. Generasi masa datang itu akan mengenang generasi masa kini bukan saja tidak visioner, tetapi – lebih buruk lagi – sekadar generasi kelas ringan, yang pandainya hanya korupsi dan berebut kekuasaan.
Ketika bangsa lain terus tumbuh dengan berbagai visi hebat tentang pengembaraan ruang angkasa, tentang tersedianya energi melimpah dari fusi dingin, dan kecukupan pangan karena bibit unggul hasil rekayasa genetika, bangsa Indonesia harus ikut menampilkan visinya sendiri – sebagai bukti bahwa pikiran tidak terbelenggu oleh pagebluk dan kesusahan.

NINOK LEKSONO

Tidak ada komentar: