Selasa, 29 Juli 2008

Trisula Kepemimpinan

Oleh Budiarto Shambazy
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008

Laporan utama Time pada 9 Juli ditulis Richard Stengel, penulis biografi Nelson Mandela, Long Road to Freedom. Ulasan Stengel dalam rangka ulang tahun Rolihlahla ke-90, 19 Juli 2008.
Seperti biasa, di sampul Time Mandela berpose dengan kemeja batik—ia promotor batik global tanpa honor. Untung dia bukan orang Malaysia. Pak Harto, atas nama RI, rutin membantu dana perjuangan Mandela dan partainya, ANC. Ini contoh praktik politik luar negeri jempolan!
Bulu kuduk bergidik membaca ulasan Stengel tentang Delapan Prinsip Kepemimpinan Mandela. Intinya, memimpin bukan berwacana karena ”talk is cheap”.
Rolihlahla (anak bandel) tak pandai berpidato, lebih suka memberi suri teladan, dan tak bangga dengan jam terbang dibui 27 tahun. Ia pengacara berbakat, gerilyawan pemberani, negarawan sejati, dan—di atas segala-galanya—politikus ulung.
Stengel menempatkan watak pemberani dan tak kenal ragu sebagai prinsip pertama. Pelajaran bagi kita, bangsa yang sedang serba susah ini tak boleh lagi dipimpin an indecisive coward mulai tahun 2009.
Prinsip kedua, memimpin dari depan tanpa meninggalkan pendukung. Stengel mengibaratkan Mandela bukan tipe ”pengunyah permen karet” yang dengan cepat melepeh sehabis menikmati rasa manis alias jangan habis manis sepah dibuang.
Prinsip ketiga, pemimpin menggembala dari belakang. Ya, mirip dengan lagu Norma Sanger, ”Si Penggembala Sapi”, yang dari pagi sampai petang kerja keras sampai menutup pintu kandang.
Kelas ”penggembala sapi” ada pada diri Bung Karno dan Pak Harto. Presiden-presiden setelah itu kewalahan menggembala sapi (eh maaf, maksudnya bangsa) karena mewabahnya sapi gila, flu burung, dan kaki gajah.
Sebuah fitur prinsip ketiga ini membujuk orang berbuat sampai yakin perbuatan itu gagasan dia. Jangan kayak kasus blue energy yang membuat si pencipta malah bolak-balik sakit.
Prinsip keempat, pelajarilah musuh Anda. Kalau pesawat maskapai-maskapai kita dilarang terbang ke Eropa, jangan ngambek enggak berkunjung ke sana.
Larangan itu diberlakukan karena maskapai-maskapai kita menyepelekan keselamatan. Pelajari cara mereka menerapkan keamanan penerbangan, baru setelah itu main gertak yang bukan lagi pakai sambal.
Prinsip kelima mirip yang keempat, yakni jangan usir musuh-musuh Anda. Jika perlu, undang mereka, puji perbuatan mereka, dan setelah tersanjung ambil keuntungan dari mereka.
Prinsip ini penting sehubungan dengan keluhan investor asing yang makin malas tanam modal di sini. Mana yang lebih baik: marah atau sebaliknya, berunding baik-baik?
Peranan MNC (multinational corporation) mustahil diabaikan. Ancaman nasionalisasi tak produktif dibandingkan ajakan berunding dalam posisi setara—seperti yang dilakukan Presiden Bolivia Evo Morales.
Prinsip keenam, pemimpin harus tampil menarik dan selalu ingat kapan harus tersenyum. Namun, hati-hati kalau senyum melulu bisa dianggap kurang waras.
Senyum, body language, serta ucapan mesti sewajar mungkin. Mata rakyat kecil amat nyambung dengan hati sehingga mereka bisa membedakan pemimpin munafik dengan yang apa adanya. Mandela tak mau memakai seragam gerilyawan seperti pada masa perjuangan atau jas lengkap beberapa tahun terakhir. Ia memilih tampil sebagai ”Bapak Bangsa” dengan kemeja batik.
Beda dengan pejabat di sini yang pakai batik karena terpaksa berhubung dikritik memboroskan listrik pada saat harga bahan bajar minyak naik melulu. Lihat saja, beberapa bulan lagi mereka ogah pakai batik lagi.
Prinsip ketujuh, dalam politik tak ada hitam atau putih karena semuanya abu-abu. Dalam konteks Indonesia tak ada warna politik lain kecuali merah dan putih—warna Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip kedelapan, mengundurkan diri juga bagian dari kepemimpinan. Kalau di sini mundur artinya pandir karena kehilangan peluang mejeng sekaligus korupsi kekuasaan.
Delapan Prinsip Kepemimpinan Mandela bukan ilmu gaib yang hanya dapat dipelajari dari dukun, pusaka, atau arwah. Ilmu ini sering diseminarkan, dibukukan, bahkan diterapkan di mana pun.
Tetapi, berhubung bersumber dari kepemimpinan seorang Mandela, ia jadi tidak biasa. Ia pemimpin yang larger than life.
Ia membangun karisma, partai, dan tujuan sejak muda. Secara perlahan-lahan ia terbentuk sebagai pemimpin yang memiliki kredibilitas karena berjuang penuh pengabdian, tanpa pamrih, dan rela berkorban. Berbeda, misalnya, dengan Presiden Amerika Serikat George W Bush yang sesumbar akan menyebarkan demokrasi di Timur Tengah. Wong dia sendiri di negerinya enggak demokratis kok.
Nah, ”riwayat Mandela” sebenarnya dilakoni pula oleh para pendiri republik ini. Mereka mungkin tidak sekelas Mandela, tetapi telah membuktikan pengabdian beyond the call of duty.
Sering muncul pertanyaan dari para pembaca, mengapa pemimpin masa kini tidak seandal pada masa perjuangan dulu? Simsalabim, saya punya teori Trisula Kepemimpinan.
Prinsip pertama, pemberani karena nekat. Contohnya, pemimpin muda yang minta yang tua menyingkir meski enggak berani mencalonkan diri jadi presiden.
Prinsip kedua, tak berkelas gembala karena lebih doyan digembalakan saja. Ada 34 partai peserta Pemilu 2009, tetapi yang berani mencalonkan presiden baru segelintir.
Prinsip ketiga, saling bermusuhan kayak anak kecil. Kalau enggak percaya, tanya Pak Jusuf Kalla.

Tidak ada komentar: