Jumat, 18 Juli 2008

Obama dan Reformasi Indonesia

Oleh
R William Liddle
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Selasa, 10 Juni 2008 halaman 6

Barack Obama, seorang muda, setengah hitam, anggota Senat dari Negara Bagian Illinois yang baru dipilih dua tahun lalu, dipastikan akan dinobatkan partainya sebagai calon presiden dalam pemilihan umum Amerika bulan November mendatang.
Ia mengalahkan hampir selusin politisi kawakan yang jam terbangnya lebih tinggi, termasuk Hillary Clinton, Senator senior New York, politikus perempuan paling mencolok di AS selama puluhan tahun.

Arti bagi Indonesia
Apa penyebab kemenangan ini dan apa relevansinya bagi Indonesia? Sebagai warga negara yang lama terlibat politik Amerika, saya melihat empat alasan penting bagi kemenangan Obama.

Pertama, tuntutan ide demokrasi sebagai fondasi bangunan negara kami; aturan pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah luas, yang berbeda dengan pemerintahan parlementer dalam negara sentralistis; Amerika sebagai negara majemuk yang senantiasa terbuka kepada imigran; sejarah Partai Demokrat, partai yang memilih Obama sebagai calon presidennya.

Pengalaman Indonesia dan Amerika tentu saja tidak serupa, tetapi ada banyak kesamaan, khususnya jika kita bersedia melihat beberapa tahun ke depan.
All men are created equal (semua orang diciptakan setara). Dalam Pernyataan Kemerdekaan Amerika, saat kami memisahkan diri dari Kerajaan Inggris, tidak ada ide yang lebih dasar atau inti. Meski Thomas Jefferson dan rekan-rekannya, yang menyusun kalimat itu, masih memiliki budak dari Afrika, mereka memahami, orang hitam juga manusia. Suatu saat kaum budak akan memanfaatkan kata-kata luhur yang tertera dalam Pernyataan Kemerdekaan guna menuntut kebebasan yang merupakan hak mereka.
Pada abad ke-21, orang hitam Amerika telah berjuang ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui perang saudara pada abad ke-19 dan gerakan hak sipil, perjuangan hak asasi, akhir abad ke-20. pencalonan Obama adalah langkah lanjut dari perjuangan yang belum selesai ini.

Demokrasi presidensial
Kedua, jenis demokrasi Amerika, yaitu demokrasi presidensial dalam wadah otonomi daerah, juga berpengaruh. Di Negara-negara sentralistis parlementer seperti Inggris, para politisi muda hanya bisa naik ke puncak pemerintahan lewat jendela partai. Mereka diberi latihan khusus dan tugas-tugas kecil selama beberapa tahun sebelum diizinkan masuk Parlemen. Di Parlemen, mereka menjadi backbencher, yang benar-benar bermakna anggota yang duduk di bangku belakang dan dilarang merepotkan pemimpin partai.
Tonny Blair harus melalui proses pengujian sebelum dipercayai duduk di kabinet, apalagi diangkat sebagai perdana menteri. Dalam pemerintahan parlementer, seorang Obama tidak mungkin menerobos dinding partai pada usia muda. Dalam Negara sentralistis, Obama tidak mungkin melompat langsung dari daerah ke pusat.

Ketiga, selama 200 tahun kami berhasil mempertahankan sebuah open door policy, kebijakan pintu terbuka. Itu tidak berarti, para pendatang selalu diperlakukan dengan baik. Orang Tionghoa pada akhir abad ke-19, orang Jerman dan Jepang pada Perang Dunia I dan II, orang Meksiko dan Arab pada masa kini (yang diwarnai globalisasi ekonomi dan teror politik), semua dicurigai dan kadang diancam pengusiran. Namun, Samuel Huntington hanya separuh benar saat mengakui dalam buku kontroversialnya, Who Are We?, bahwa sukses Amerika tidak bisa dilepaskan dari akar budaya Inggris Protestan pada zaman Pencerahan. Yang seluruhnya benar adalah Amerika dari awal sampai kini adalah produk hibridisasi. Barack Obama mewakili dan membuktikan kenyataan itu.

Keempat, Barack Obama adalah hasil sejarah Partai Demokrat yang merangkul orang hitam pada masa pemerintahan Franklin Roosevelt, yang mulai menjabat sebelum Perang Dunia II. Sayang, selama puluhan tahun partai itu bersikap skizofrenia, sekaligus mewakili kelas buruh di Utara, termasuk orang hitam yang bekerja di pabrik industri, serta tuan tanah di Selatan yang bersikap rasis.
Setelah John Kennedy menjadi presiden tahun 1960, Partai Demokrat sungguh-sungguh memperjuangkan hak-hak orang hitam. Secara tidak sengaja, kaum Demokrat dibantu pemimpin Partai Republik Richard Nixon, yang pada awal 1970-an mencari dukungan orang putih dengan “strategi selatan“-nya. Nixon menang di hampir semua negara bagian Selatan, tetapi ongkosnya besar. Sampai kini hampir 80 persen orang hitam di seluruh Amerika menjadi pendukung setia Partai Demokrat. Mereka merupakan salah satu basis utama Obama dalam primary elections, pemilihan pendahuluan yang diadakan selama 2008.

Politisi baru menggeliat
Di Indonesia, garis besar pemilihan presiden tahun 2009 cukup jelas. Presiden Yudhoyono, yang berasal dari kelas politisi Orde Baru, akan dilawan calon-calon yang juga sudah lama dikenal para pemilih. Sebaiknya jangan berharap akan ada calon baru – muda, pintar, terampil bicara, penuh ide untuk memecahkan aneka masalah bangsa, dan dari golongan minoritas – yang menggiurkan seperti Obama.

Meski demikian, sejarah singkat reformasi Indonesia – khususnya sejak 2004, di pusat dan di daerah – memberi kesan kuat, sebuah kelas politisi baru mulai menggeliat. Seperti Amerika, Indonesia adalah masyarakat majemuk yang restless, terus bergerak. Negara-negara kita sedang memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi, termasuk pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah, guna menemukan jawaban serba baru pada tuntutan zaman yang serba baru. Jadi, jangan terlalu terkejut jika ada seorang Obama ala Indonesia yang muncul mendadak dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

R WILLIAM LIDDLE
Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

Tidak ada komentar: