Oleh
Philips J Vermonte
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 12 Juni 2008 halaman 6.
Berakhirnya pemilihan pendahuluan untuk memilih calon presiden dari Partai Demokrat, posisi Barack Obama sebagai figur penting dalam politik di AS kian kokoh.
Banyak tulisan menggambarkan karisma Obama yang ditandai dengan kepiawaiannya berpidato sebagai sebab utama mengapa Obama tampil begitu fenomenal dalam kampanye pemilihan presiden AS kali ini.
Figur baru
Obama yang berkulit hitam dinilai sebagai figur inspirasional, menjadi ajang pembuktian American dream di mana tidak ada yang bisa membatasi mimpi seseorang. Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden AS.
Namun, diskusi yang dibatasi karisma atau kepiawaian berpidato akan mengaburkan pesan mendasar Obama, yaitu tentang munculnya sebuah ”politik baru” dalam lanskap politik di AS.
Obama adalah figur baru dalam politik AS. Namun, idealisme dan pengalamannya selama beberapa tahun menjadi community organizer di sudut miskin Chicago selepas lulus Universitas Harvard meyakinkan Obama bahwa politik harus bersifat bottom-up bukan top-down. Keyakinan untuk mewujudkan politik bottom-up ini mewarnai cara Obama mengelola kampanyenya.
Majalah The Atlantic Monthly (Juni 2008) menurunkan laporan tentang mesin politik Obama. Kunci kesuksesan Obama adalah kemampuannya mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam seluruh kampanyenya.
“Kampanye” paling awal Obama adalah sebuah malam pengumpulan dana di Silicon Valley. Pengumpulan dana yang berlangsung sebelum Obama resmi menjadi mendeklarasikan diri menjadi calon presiden ini terbukti menjadi basis bagi mesin kampanyenya. Para entrepreneur teknologi di Silicon Valley, dari perusahaan kecil dan besar, bergabung dengan Obama dan membantu merancang kampanye pengumpulan dana melalui internet. Chris Hughes, pendiri situs Facebook – sebuah jaringan sosial berbaris internet paling popular di kalangan mahasiswa dan pelajar di AS – memutuskan cuti dari perusahaannya itu agar bisa bekerja full-time di markas besar tim kampanye Obama di Chicago.
Jaringan sosial berbasis internet itu selanjutnya menjadi tulang punggung penggalangan dana dan media bagi para relawan dalam tim kampanye Obama.
Berkat kecanggihan memanfaatkan jaringan internet, tim kampanye Obama memiliki 750.000 relawan aktif, 8.000 kelompok pendukung, dan tim ini mengorganisasi 30.000 events dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Video-video rekaman pidato dan event-event yang dihadiri Obama bisa diakses gratis melalui podcast di iTunes store. Hasilnya, ratusan ribu orang bisa merasakan gemuruh pendukung Obama di tempat kampanye dan menangkap pesan kampanye melalui layer iPod masing-masing. Youtube, Facebook, iPod-podcast, dan My-space. Secara cerdas, internet dimanfaatkan Obama dengan efektivitas yang tak dapat ditandingi kandidat lain.
Dominasi internet
Donasi melalui internet adalah politik baru yang dibawa tim kampanye Obama. Tercatat, Obama menerima donasi dari 1,3 juta orang melalui internet. Kenyataan ini menghancurkan paradigma lama pengumpulan dana melalui lobbyist dan pebisnis besar. Obama lebih mengandalkan donasi berjumlah kecil dari massa pemilih yang berjumlah jutaan orang. Tim kampanye Obama melaporkan, 94 persen donasi yang mereka terima dating dari individu-individu yang menyumbang kurang dari 200 dollar AS.
Angka ini amat kontras bila dibandingkan dengan 26 persen yang dilaporkan Hillary Clinton dan 13 persen yang dilaporkan John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Saat Hillary dan John McCain masih mengandalkan donor-donor besar, Obama mentranslasikan politik bottom-up yang dipelajari sebagai community organizer ke dalam pengumpulan dana kampanye menuju Gedung Putih.
Seperti ditulis The Atlantic Monthly, sejarah AS mentatat, transformasi cara berkomunikasi secara regular mengubah wajah politik AS. Andrew Jackson membentuk Partai Demokrat saat teknologi printing mengalami kemajuan pesat pada awal tahun 1800-an. Andrew Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk partai politik. Abraham Lincoln tampil menjadi tokoh legendaris setelah transkrip debat dalam kampanye presidennya yang terkenal disebarluaskan melalui koran-koran yang saat itu menjamur di AS.
Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa-masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif melalui pesan regulernya di radio yang saat itu sedang disempurnakan. John Kennedy menjadi amat popular setelah debat antarcalon presiden dan pertama kali disiarkan televisi. Sejak itu, Kennedy cermat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.
Gairah baru
Hal terpenting lainnya, kampanye Obama membawa gairah baru bagi pemilih di AS. Bersama Hillary, berlomba untuk mencatat sejarah sebagai calon presiden wanita pertama di AS, tim kampanye Obama berhasil memobilisasi voter turnout dalam jumlah mengejutkan. Pemilihan presiden AS kali ini agaknya akan menjadi counter argument bagi ilmuwan politik Robert Putnam yang dalam bukunya, Bowling Alone (2001), mensinyalir, publik AS kian apatis secara politik, antara lain diindikasikan oleh penurunan secara drastis jumlah pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya dari tahun ke tahun.
PHILIPS J VERMONTE
Peneliti CSIS Jakarta; Kandidat Doktor Ilmu Politik
Di Northern Illinois University, AS
Philips J Vermonte
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 12 Juni 2008 halaman 6.
Berakhirnya pemilihan pendahuluan untuk memilih calon presiden dari Partai Demokrat, posisi Barack Obama sebagai figur penting dalam politik di AS kian kokoh.
Banyak tulisan menggambarkan karisma Obama yang ditandai dengan kepiawaiannya berpidato sebagai sebab utama mengapa Obama tampil begitu fenomenal dalam kampanye pemilihan presiden AS kali ini.
Figur baru
Obama yang berkulit hitam dinilai sebagai figur inspirasional, menjadi ajang pembuktian American dream di mana tidak ada yang bisa membatasi mimpi seseorang. Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden AS.
Namun, diskusi yang dibatasi karisma atau kepiawaian berpidato akan mengaburkan pesan mendasar Obama, yaitu tentang munculnya sebuah ”politik baru” dalam lanskap politik di AS.
Obama adalah figur baru dalam politik AS. Namun, idealisme dan pengalamannya selama beberapa tahun menjadi community organizer di sudut miskin Chicago selepas lulus Universitas Harvard meyakinkan Obama bahwa politik harus bersifat bottom-up bukan top-down. Keyakinan untuk mewujudkan politik bottom-up ini mewarnai cara Obama mengelola kampanyenya.
Majalah The Atlantic Monthly (Juni 2008) menurunkan laporan tentang mesin politik Obama. Kunci kesuksesan Obama adalah kemampuannya mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam seluruh kampanyenya.
“Kampanye” paling awal Obama adalah sebuah malam pengumpulan dana di Silicon Valley. Pengumpulan dana yang berlangsung sebelum Obama resmi menjadi mendeklarasikan diri menjadi calon presiden ini terbukti menjadi basis bagi mesin kampanyenya. Para entrepreneur teknologi di Silicon Valley, dari perusahaan kecil dan besar, bergabung dengan Obama dan membantu merancang kampanye pengumpulan dana melalui internet. Chris Hughes, pendiri situs Facebook – sebuah jaringan sosial berbaris internet paling popular di kalangan mahasiswa dan pelajar di AS – memutuskan cuti dari perusahaannya itu agar bisa bekerja full-time di markas besar tim kampanye Obama di Chicago.
Jaringan sosial berbasis internet itu selanjutnya menjadi tulang punggung penggalangan dana dan media bagi para relawan dalam tim kampanye Obama.
Berkat kecanggihan memanfaatkan jaringan internet, tim kampanye Obama memiliki 750.000 relawan aktif, 8.000 kelompok pendukung, dan tim ini mengorganisasi 30.000 events dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Video-video rekaman pidato dan event-event yang dihadiri Obama bisa diakses gratis melalui podcast di iTunes store. Hasilnya, ratusan ribu orang bisa merasakan gemuruh pendukung Obama di tempat kampanye dan menangkap pesan kampanye melalui layer iPod masing-masing. Youtube, Facebook, iPod-podcast, dan My-space. Secara cerdas, internet dimanfaatkan Obama dengan efektivitas yang tak dapat ditandingi kandidat lain.
Dominasi internet
Donasi melalui internet adalah politik baru yang dibawa tim kampanye Obama. Tercatat, Obama menerima donasi dari 1,3 juta orang melalui internet. Kenyataan ini menghancurkan paradigma lama pengumpulan dana melalui lobbyist dan pebisnis besar. Obama lebih mengandalkan donasi berjumlah kecil dari massa pemilih yang berjumlah jutaan orang. Tim kampanye Obama melaporkan, 94 persen donasi yang mereka terima dating dari individu-individu yang menyumbang kurang dari 200 dollar AS.
Angka ini amat kontras bila dibandingkan dengan 26 persen yang dilaporkan Hillary Clinton dan 13 persen yang dilaporkan John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Saat Hillary dan John McCain masih mengandalkan donor-donor besar, Obama mentranslasikan politik bottom-up yang dipelajari sebagai community organizer ke dalam pengumpulan dana kampanye menuju Gedung Putih.
Seperti ditulis The Atlantic Monthly, sejarah AS mentatat, transformasi cara berkomunikasi secara regular mengubah wajah politik AS. Andrew Jackson membentuk Partai Demokrat saat teknologi printing mengalami kemajuan pesat pada awal tahun 1800-an. Andrew Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk partai politik. Abraham Lincoln tampil menjadi tokoh legendaris setelah transkrip debat dalam kampanye presidennya yang terkenal disebarluaskan melalui koran-koran yang saat itu menjamur di AS.
Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa-masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif melalui pesan regulernya di radio yang saat itu sedang disempurnakan. John Kennedy menjadi amat popular setelah debat antarcalon presiden dan pertama kali disiarkan televisi. Sejak itu, Kennedy cermat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.
Gairah baru
Hal terpenting lainnya, kampanye Obama membawa gairah baru bagi pemilih di AS. Bersama Hillary, berlomba untuk mencatat sejarah sebagai calon presiden wanita pertama di AS, tim kampanye Obama berhasil memobilisasi voter turnout dalam jumlah mengejutkan. Pemilihan presiden AS kali ini agaknya akan menjadi counter argument bagi ilmuwan politik Robert Putnam yang dalam bukunya, Bowling Alone (2001), mensinyalir, publik AS kian apatis secara politik, antara lain diindikasikan oleh penurunan secara drastis jumlah pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya dari tahun ke tahun.
PHILIPS J VERMONTE
Peneliti CSIS Jakarta; Kandidat Doktor Ilmu Politik
Di Northern Illinois University, AS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar