Kamis, 04 September 2008

Industri dan Jasa Gagal Menopang Pertanian

Perangkap Pangan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Jakarta, Kompas - Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih menyatakan, bangsa Indonesia harus merumuskan kembali strategi pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi ke depan harus berbasis pertanian dan pangan.

”Masih banyak peluang yang bisa dilakukan kalau kita mau maju. Selama ini konsep pembangunan ekonomi, khususnya sektor jasa dan industri, salah arah dan gagal menopang sektor pertanian untuk meningkatkan nilai tambah,” kata Bungaran, Rabu (3/9) di Bogor, Jawa Barat.

Selama ini semua solusi mengenai lapangan kerja dibebankan kepada pertanian. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa juga menjadi tanggung jawab sektor pertanian. Akibatnya, ruang gerak pertanian menjadi amat terbatas sebagai dampak dari beban yang begitu berat. Padahal, sektor pertanian baru akan tumbuh dengan baik dan cepat kalau ada dukungan yang memadai dari sektor industri dan jasa.

Menjauh dari pertanian

Namun, arah kebijakan pembangunan sektor industri dan jasa justru bukan untuk menopang sektor pertanian. Industri perbankan, misalnya, malah menjauh dari pertanian. Kredit pertanian sulit diakses oleh petani.

Sektor industri pengolahan juga tidak mampu menumbuhkan pabrik-pabrik besar yang bisa bersaing dengan perusahaan multinasional, yang bahan bakunya ditopang produk domestik. Namun, sebaliknya produk pangan negara maju dan negara tetangga menyerbu pasar Indonesia.

”Sektor pertanian tak seburuk yang dibayangkan,” kata Bungaran.

Data Departemen Pertanian menunjukkan, produksi komoditas pertanian utama, seperti padi, jagung, karet, kelapa sawit, dan jambu mete, terus meningkat sebesar 4,85 persen-14,45 persen.

Ekspor komoditas pertanian, khususnya perkebunan, seperti produk kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi, juga terus naik. Neraca ekspor-impor subsektor perkebunan tahun 2006, misalnya, naik menjadi 12,29 miliar dollar AS dibandingkan tahun 2003 yang hanya 7,78 miliar dollar AS. Tahun 2007 dan 2008 nilai ekspor subsektor perkebunan meningkat tajam karena kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO), karet, kakao, dan kopi di pasar dunia.

Guru besar sosial ekonomi dan industri pertanian Universitas Gadjah Mada, M Maksum, mengungkapkan, sudah saatnya pemerintah melakukan perombakan pembangunan ekonomi nasional dari yang sebelumnya mengorbankan sektor pertanian menjadi propertanian.

Dalam wawancara sebelumnya, Maksum mengungkapkan, industri hilir pertanian, seperti industri pengolahan produk pertanian, tidak tumbuh untuk meningkatkan daya saing pertanian. Ekspor komoditas pertanian hanya pada komoditas mentah, seperti karet, biji kopi, biji kakao, dan CPO.

Tidak ada langkah strategis dari pemerintah untuk menumbuhkan industri pengolahan produk pertanian yang bisa memberikan nilai tambah. Padahal, tumbuhnya industri pengolahan berbasis bahan baku domestik akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa.

”Pemerintah selalu terjebak dalam nafsu kebijakan jangka pendek yang kerap membuat harga pangan dan produk pertanian menjadi murah. Kebijakan fiskal dan moneter pun tidak prosektor pertanian,” katanya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri MS Hidayat mengatakan, sejak Kadin Indonesia menyusun roadmap industri, orientasi strategi industri Indonesia memang didorong untuk segera diubah secara besar-besaran. Artinya, Indonesia tidak bisa lagi hanya berbangga pada besarnya nilai ekspor, melainkan perlu menggenjot perolehan nilai tambah setiap produk ekspornya.

Kebijakan strategis

”Untuk membangun processing plan sangat dibutuhkan modal. Di Malaysia, perencanaan pembangunan industri sangat didukung pemerintah melalui kebijakan strategis maupun permodalan,” kata Hidayat.

Menurut dia, perencanaan proses industri yang menghasilkan nilai tambah secara konkret perlu dilakukan, pertama-tama, dengan menyeleksi pemain-pemain di bidang industri. Pemain ini mesti mempunyai kemampuan dalam membangun industri manufaktur yang mengolah hasil pertanian, seperti kopi, kakao, dan karet.

Soal permodalannya, Hidayat mengatakan, pembangunan industri manufaktur membutuhkan dukungan konsorsium perbankan nasional. Atau, bisa juga dana itu disepakati pemerintah untuk kebutuhan jangka panjang ekspor produk Indonesia.

Dia menyayangkan, selama ini nilai tambah produk Indonesia dinikmati negara lain, sedangkan Indonesia hanya sebatas meningkatkan nilai ekspor produk mentah.

Pemain global

Bungaran menambahkan, untuk komoditas perkebunan, Indonesia sudah menjadi pemain utama di pasar global.

Saat ini Indonesia menjadi produsen utama minyak sawit dunia. Pasar minyak kedelai, jagung, dan biji bunga matahari semua dikalahkan oleh minyak sawit. Produksi CPO tahun 2007 bahkan mencapai 17,8 juta ton. Luas lahan sawit juga meningkat. Tahun 2000 seluas 2 juta hektar, 2004 sebesar 4 juta ha, dan sekarang mencapai 6 juta ha.

Produksi karet alam Indonesia nomor dua terbesar di dunia, begitu juga dengan kakao menjadi nomor tiga terbesar. Rempah-rempah Indonesia juga pemain utama, begitu pula dengan kopi robusta dan minyak asiri.

Ekonom BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan, sampai saat ini perbankan masih menganggap pertanian sebagai sektor berisiko tinggi untuk dibiayai. Salah satunya karena harga yang tak stabil.

Pernah muncul wacana agar pemerintah mendirikan bank khusus pertanian sehingga pembiayaannya menjadi lebih fokus. Gubernur BI Boediono menyambut baik jika pemerintah mendirikan bank khusus pertanian. (MAS/OSA/FAJ)

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: